Mengadang Pusaran, Kisah Perempuan dalam Kekangan Zaman

Sedikit cerita. Saya terlahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara, dengan urutan tiga perempuan pertama, lalu anak keempat dan kelima adalah laki-laki. Terlahir dari orang tua suku Batak yang kuat memegang adat meski kami tinggal di ibukota negara, Jakarta. Dulu, saya tak paham dan suka menghindar jika Mama almarhumah mengajak anak-anaknya untuk ikut dalam acara-acara keluarga Batak. Bahkan ketika saya dan dua adik perempuan menjadi dewasa, siap menikah, Mama semakin sering mengajak kami untuk ikut pertemuan keluarga besar. Alih-alih menghadiri acara, tujuan Mama sebenarnya adalah agar kami berkenalan dengan anak laki-laki dari keluarga Batak lainnya. Siapa tahu dari perkenalan itu bisa berlanjut menjadi jodoh. Keinginan yang tak jadi kenyataan, karena tidak ada satu pun menantunya dari suku Batak. Mengapa menikah dengan satu suku? Saya baru memahami perasaan Mama setelah membaca tuntas novel Mengadang Pusaran karya Lian Gouw.

Mengadang Pusaran, Kisah Perempuan dalam Kekangan Zaman

Mengadang Pusaran, Keterangan Buku:  

Judul buku: Mengadang Pusaran

Pengarang: Lian Gouw

Penerjemah: Widjati Hartiningtyas

Perancang sampul: Marius Santo

Penyunting: Flora Maharani

Penerbit: PT Kanisius

ISBN: 978-979-22-6233-9

Diterbitkan dalam Bahasa Inggris oleh Dalang Publishing, California, USA pada tahun 2011 dengan judul Only Girl. ISBN: 979-0-9836273-7-1

Cerita singkat Mengadang Pusaran:

Berlatar belakang masa Hindia Belanda antara 1932 – 1956 dengan penempatan cerita di Bandung, Jawa Barat, buku ini bercerita tentang kehidupan peranakan Tionghoa di akhir masa penjajahan Belanda di Indonesia. Pencerita mengarahkan perhatiannya pada kisah tiga orang perempuan keturunan Tionghoa, dengan segala perselisihan kehidupan terutama tentang keinginan untuk bahagia di masa depan.

Carolien Ong, nama Belanda dari Ong Kway Lien, memutuskan menikah dengan pria yang dicintainya, meski sama-sama keturunan Tionghoa namun tidak memiliki gelar dan tidak berasal dari keluarga kaya. Carolien yang mendapatkan pendidikan Belanda merasa bahwa kebahagiaan adalah yang paling utama dalam masalah pernikahan. Dan di usia 31 tahun memutuskan menikah meski tanpa restu keluarga. Meninggalkan rumah untuk menjalani kehidupan bersama Po Han, pria penjual mesin ketik, dari keluarga miskin Tionghoa dan memiliki seorang nenek yang pemabuk. Walau tanpa restu keluarganya, Carolien yakin pernikahannya akan bahagia selamanya.

Nanna, perempuan yang kukuh memegang adat Tionghoa, rajin berdoa kepada para dewa dan leluhurnya. Perempuan yang tak pernah setuju gadis-gadis Tionghoa dikenalkan dengan gaya hidup kebarat-baratan, yang tidak begitu menyukai orang Belanda, meski almarhum suaminya mendapatkan keistimewaan dari pemerintah penjajah Belanda karena membantu pihak Belanda dalam penyerangan sarang candu. Dengan demikian anak-anak laki-lakinya mendapatkan pekerjaan yang baik di kota Bandung dari pihak Belanda.

Nanna meski tidak setuju dengan apa yang dilakukan Carolien, dengan naluri seorang ibu selalu menyertainya, mengulurkan tangan dan memeluk untuk semua masalah yang terjadi pada anaknya.

Jenny, anak Carolien dan Po Han, merasa tidak mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari sang mama, tetapi bertumbuh menjadi anak serba ingin tahu berkat kasih sayang nenek, tante, om dan sepupu—sepupunya. Jenny mendapatkan pendidikan Belanda dan setengah pendidikan Indonesia, hidup di masa yang lebih modern dari mama dan neneknya. Meski sempat memiliki keraguan akan masa depannya, Jenny mampu memutuskan apa yang terbaik dan membuatnya bahagia di masa depan.

Ulasan Novel Mengadang Pusaran

Mengadang Pusaran, Kisah Perempuan dalam Kekangan Zaman

Dari kecil, saya menyukai buku cerita yang berlatar belakang Tionghoa. Saya tumbuh dengan membaca cerita silat Cina karya Asmaraman S Kho Ping Ho, SD Liong dan Gan KL. Bahkan ketika zaman menonton film silat Cina melalui VCD, saya bisa menghabiskan waktu berjam-jam untuk menontonnya, sampai Mama harus memukulkan sapu lidi ke kaki, biar saya kapok menonton. Setelah besar, bekerja dan mampu beli buku cerita sendiri, cerita-cerita berlatar keluarga Tionghoa tetap menarik perhatian. Novel-novel karya Pearl S. Buck. Lisa See dan Amy Tan, sampai sekarang masih menjadi bacaan terpilih.

Membaca buku Mengadang Pusaran, membawa saya pada kenangan masa kecil ketika tinggal di wilayah Jakarta Barat, Tanjung Duren, di mana kami memiliki tetanggan keturunan Tionghoa, sebanyak keturunan Betawi, Jawa, Padang dan suku lainnya. Bagi orang Jakarta, wilayah Jakarta Barat dan Jakarta Utara, dianggap sebagai daerah Pecinan. Semasa kecil hingga remaja, saya sering melihat kebiasaan pagi dari tetangga Cina kami, membakar dupa, mengayun-ayunkannya, lalu berdoa, dan kemudian terakhir meletakkan dupa di tempat yang ditempelkan di dinding rumah dekat pintu masuk. Kalau tetangga yang punya toko, selain bersembahyang dengan dupa, selalu meletakkan boneka kucing keemasan yang tangannya mengayun-ayun ke atas dan bawah.

Dari novel karya Lian Gouw ini, saya pun akhirnya paham kenapa orang Cina, hampir sebagian besar menikah dengan orang Cina lainnya. Ternyata, ketertiban terhadap adat yang sangat kuat, menjadi kebanggaan para keturunannya sampai sekarang, di mana pada suku lainnya, ketika sudah berada pada keturunan keempat dan seterusnya, sudah tidak terlalu kuat mengikat.

Novel yang diterjemahkan dengan apik oleh Widjati Hartiningtyas ini, kalimat demi kalimatnya seakan “menyihir” kita untuk terus membaca sampai ke bagian akhir cerita. Novel dengan bahasa sastra yang membumi, tidak berat sehingga tidak perlu mengerutkan kening ketika membaca ceritanya.

Saya belum pernah membaca versi bahasa Inggris  dari novel Mengadang Pusaran ini. Tapi, kalimat yang enak dibaca, penuturan yang menarik, membawa kita larut dalam cerita. Membayangkan masa penjajahan Belanda di Kota Bandung, ikut merasakan kepedihan yang terjadi pada tokoh-tokoh cerita, menerka-nerka cerita apa yang akan terjadi selanjutnya.

Bisa dibilang, buku dengan latar belakang sejarah yang gaya bercerita begitu kuat. Saya percaya, karya asli dalam bahasa Inggrisnya pasti menarik, sehingga penerjemah bisa menjalin cerita dalam bahasa Indonesia dengan baik.

Perselisihan dalam cerita dibangun dengan apik. Masalah anak dengan orang tua, pertikaian antargenerasi, hubungan suami istri, masalah dengan mertua, juga masalah percintaan antarremaja.

Begitu pun dengan cerita tentang keadaan yang terjadi pada masa Hindia Belanda yang menjadi latar belakang cerita, diuraikan dengan menarik dan jelas. Jujur, menambah pengetahuan sejarah masa penjajahan Belanda yang dialami oleh Peranakan Tionghoa.

Mengadang Pusaran, Kisah Perempuan dalam Kekangan Zaman

Kalau di masa sekarang, buku ini bisa menjadi salah satu acuan bacaan yang digunakan sebagai bimbingan pengasuhan, karena kita bisa belajar banyak dari pesan yang tersirat dari ceritanya. Bagaimana Nanna, Carolien dan Jenny yang sesungguhnya punya masalah antar mereka, namun diberikan penyelesaian masalah mereka dengan cara yang baik, belajar mengerti dan memahami bahwa sesungguhnya yang mereka inginkan adalah kebahagiaan. Karena kebahagiaan adalah kedamaian.

Saya jadi berpikir, andai mama masih hidup, buku Mengadang Pusaran ini, akan menjadi buku bacaan kesayangannya dan akan membacanya dalam sekali baca. Mama pasti akan menangis saat membaca bagian cerita tentang Ocho, nenek Po Han, yang meninggal dunia dengan membawa penyesalan telah merenggut kebahagiaan cucunya tercinta, dengan kekhawatiran cucunya akan hidup sendiri setelah kepergiannya. Mama akan tersedu-sedu seperti Jenny dalam mengantarkan Nanna pada kematiannya.

Yang membuat penasaran di akhir cerita Mengadang Pusaran ini adalah pembaca seakan-akan diminta untuk menentukan sendiri bagaimana cerita akan berakhir. Apakah Jenny bisa mencapai kebahagiaan yang diidam-idamkannya, apakah Carolien bisa merebut kembali kebahagiaan cintanya.

28 Comments

  1. yanda December 6, 2022
  2. Alya Soraya January 18, 2022
  3. duniamasak January 28, 2021
  4. Liza January 18, 2021
  5. Rahmah January 13, 2021
  6. lendyagasshi January 13, 2021
  7. TIAN LUSTIANA January 13, 2021
  8. Helena January 13, 2021
  9. Suciarti Wahyuningtyas January 13, 2021
  10. nurulrahma January 13, 2021
  11. Mirna Rahardjo January 13, 2021
  12. Tuty Queen January 13, 2021
    • Adriana Dian January 13, 2021
  13. Ade Ufi January 13, 2021
  14. Mia Yunita January 12, 2021
  15. Rachmanita Adindarara January 12, 2021
  16. Rach Alida January 12, 2021
  17. Nasirullah Sitam January 12, 2021
  18. Jalan-Jalan KeNai January 11, 2021
  19. Andiyani Achmad January 11, 2021
  20. nchie hanie January 11, 2021
    • Dian January 13, 2021
  21. Nia Nurdiansyah January 11, 2021
  22. Jiah January 11, 2021
  23. Faridilla Ainun January 11, 2021
    • Siti Hairul January 13, 2021
  24. Nurul Sufitri January 11, 2021
    • Syarifani mama twins January 13, 2021

Leave a Reply