Halo eperibodi, apa kabarnya nih ? Dah lama juga nih ngak ngeblog dan blogwalking ketempat teman-teman tercinta, hehehehe, lagi tapa brata nih mencari wangsit buat nyontreng tanggal 9 April nanti. Eh, udah pada tau blum siapa yang mau dicontreng ? Gw belum tuh, bingung banyak bener dan lagian gw juga puyeng milih dimana secara tinggal di Bekesong, tapi KTP gw masih beralamat di Jakarta Barat.
Ah dari ngomong pemilu, ngak paham mending baca ini aja deh. Teman gw, Lita, seorang yang peduli dan concern dengan masalah anak-anak, ngirimin gw email tentang keresahannya mengenai pemakaian kata Autis yang sekarang ini sedang marak di melanda para pemakai Blackberry atau kecanduan Facebook.
Ini emailnya Lita :
“Tak jarang kata ‘autis’ tersebut-sebut di status pengguna Facebook.
‘Mau autis dulu ah’.
‘Lagi autis nih’.
‘Autis adalah fashion!’ *d’oh!*
‘Autisberry’ (plesetan Blackberry yang superduper ngga lucu menurut saya).
Atau yang sedang asyik sendiri dengan gadget-nya diledek ‘Dasar autis, lo!’.
Saya merasa sangat-sangat terganggu dengan ini. Dan saya yakin saya tidak sendirian.
Pendangkalan makna sering terjadi di pergaulan (tak hanya anak muda).
Namun pendangkalan makna terasa jauh lebih menyakitkan manakala mengingat tak sedikit keluarga yang berjuang dengan anak/sepupu/cucu/saudara penyandang autis.
Saya ingat siang ini saya menegur teman yang berkata ‘Autis adalah fashion’ itu tadi.
“Kamu pasti ngga akan tega ngomong begitu di hadapan keluarga penyandang autis”, yang ditukas dengan penjelasan bahwa istilah autis yang digunakan adalah yang sedang populer di kalangan anak muda jaman sekarang [dengan kata lain dia tidak merujuk ‘autis’ yang sesungguhnya].
Tetap saja, menurut saya, penggunaannya tidaklah tepat dan tidak dapat dikatakan nyaman.
Teguran saya berbuah. Saya tak dapat lagi menyimak status atau pembicaraannya di Facebook.
Tak apa. Semua ada risikonya, kan? 🙂
Kita BISA MEMILIH untuk mengatakan ‘penyendiri’, atau ‘kecanduan gadget’, atau ‘nggak gaul’ atau apalah itu yang memang lebih tepat.
Kita BISA MEMILIH untuk menegur dan -tentu saja- berisiko dilabel ‘bawel’, ikut campur urusan orang, ngga bisa diajak bercanda, terlalu serius, ‘gitu aja dipikirin, serius amat!’, sok peduli, dan sebagainya.
Dan kita juga BISA MEMILIH untuk berdiam diri. Entah karena tidak peduli, tidak ingin dibilang bawel, atau alasan lainnya dan hanya merutuk dalam hati.
Semuanya pilihan kita.
Kita akan pilih yang mana?
Tentunya pilihan kita akan berefek ke diri sendiri.
Manakala anak kita, saudara kita yang masih kecil, bercanda dengan enteng, “Eh eh, kamu autis banget sih!” karena temannya sedang tidak ingin diajak bermain bersama.
Mari kita bayangkan, akan bagaimana perasaan kita saat melihat itu, dan di saat dan tempat yang sama ada sesama rekan orangtua bersama anaknya yang penyandang autis, yang sedang berusaha dikenalkan dengan ‘dunia’.
Malu? Tidak enak?
Dan bayangkan jika ketika saat itu kita menegur buah hati tercinta, ia menjawab polos, “Kenapa? Bunda/ayah/kakak juga sering bilang begitu.
Ngga dimarahin”.
Andaikan itu sekadar pendangkalan makna yang tidak serius, mungkin ada gunanya jika kita sesekali mendengar cerita orangtua penyandang autis.
Yang MENDENGAR percakapan ‘ringan’ seperti ini saat sedang bepergian.
Bayangkan kita, sebagai orangtua, yang berjuang untuk ‘sekadar’ mendapat kontak mata dari buah hati yang menyandang autis, yang merindu ia berkata-kata, yang mengharap dapat bercanda dengannya, yang ternyata sangat tidak mudah mencarikan sekolah yang mau menerima anak kesayangan kita… mendengar ucapan sambil lalu “Gue mau autis dulu, ya!”. [menulis begini saja saya rasanya mau menangis… berharap tak perlu menampar seseorang yang berkata demikian].
Saya yakin jika sepersepuluhnya saja ‘turun peduli’ dan bersedia mengambil risiko dibilang ‘bawel’ (percaya deh, ngga 100% bereaksi negatif kok, kebanyakan yang ditegur justru akan merasa tidak enak hati dan minta maaf), bersedia untuk sekadar menepuk bahu teman yang kelepasan bercanda demikian, betapa besar dan cepatnya ajakan ini untuk tersebar luas.
Sekadar colekan di lengan, tepukan ramah di bahunya, dan kita akan membawa suasana pergaulan yang lebih hangat dan peduli pada kesulitan orang lain. Jika kita tak dapat membantu, setidaknya kita tidak menambah beban hatinya. Bukan begitu? 🙂
Yuk yuk… kita lebih berhati-hati dan sensitif.
Stop using ‘autis’ word in daily jokes.
http://apps.facebook.com/causes/254422/
http://tinyurl.com/stopjokeautis
Sudah 700 orang bergabung sejak Senin, 23 Maret 2009.
Ikut? Yuuukkkkk… 🙂
Setuju karna sesungguhnya kata autis sangat tidak pantas dipakai untuk bertutur kata, apalagi di jaring sosial facebook. pokonya ga pantas lah.
berilah apapun yang bisa membuat orang lain tersenum
http://resep-masakan.talen.biz
terima kasih infonya
Wah, tega bener tuh yang pake kata itu sembarangan. Deuh… bisa-bisanya kek gitu yah. 🙁 Pdhl yg bener2 punya anak autis berjuang kayak apaan.
HHmmm …
kita suka nggak sadar …
(termasuk saya )
Kadang kata yang kita pilih mempunyai efek yang kurang mengenakkan bagi sementara orang …
ini pelecehan terhadap kata autis itu sendiri …
(but aku yakin … mereka, juga saya tidak bermaksud melecehkan kata ini …)
Salam saya In-jul
Apa kabar nih …
autis adalah anugrah..
Iya, kita seharusnya menghormati anak yang autis, dan tak boleh melecehkan dengan membuat perkataan itu seperti gurauan.
Hai injullll pa kbr sayyy….idiiihhh aku lama bgd nih gag mampir jd malu 🙁
btw aku setuju bgd dgmu say…betapa kt2 itu kalo sampe d buat becandaan…bener2 keterlaluan…mungkin samalah dg kt2 ‘idiot’ yg d pake utk istilah gaul buat orang yg gag mudengan…
iya ina. I hate this word as much as I love my little brother, who is diagnosed autis ever since he was 3 years old. There, I said it.
maksudnya..
apakah autis adalah style?
gitu kan?
hehe..
haloo…. kunjungan malam, btw tukran link mau gag boss.?? biar PR sama2 naik.?? hehehehe…
punya tutorial balajar word press gag?? minta dunk..
Ndah…pertama baca kata ini di komentar salah satu teman di fb. Saya gak mudeng…bener2 gak mudeng. Sampai saya tanya ke teman tadi….baru ngerti.
Setuju….stop penggunaan kata itu untuk arti yg ditulis di posting ini. Tidak sensitif.
gue rasa, nggak cuman kata ‘autis’ aja yang kita mesti hati-hati; tapi juga kata-kata lain. kayak misalnya, “ih pundungan, kayak pembokat,” gue rasa, untuk seorang anak yang orang tuanya pembokat juga sedih kalo’ denger term kayak gitu. banyak kok yang laennya…
intinya adalah: watch your words 🙂
Iya…ya..nggak pantas itu dijadikan bahan olok2an.
Mereka (penyandang Autis) pasti juga nggak pengen seperti itu.
Ada2 saja orang2 itu.
hehehe kalo saya sih ndak ngerti kalo kata autis itu ngetren. Cm saya pernah tau ada tetangga teman saya punya anak autis, sedikit beda (spesial) dengan anak kebanyakan.
Agak kasihan kalo inget itu.
saya sudah lama brhenti menggunakan kata itu sebagai ejekan. jauh sebelum sekarang marak digunakan. takut kualat!
Rasanya ngilu juga ya, mbak In. Mestinya kt bersyukur luar biasa krn anak2 kita sehat walafiat dan bukan malah mengumbar kata2 itu sebagai bahan candaan. Astaghfirullah. Mudah2an saudara2 yg merasa tersinggung bisa memaafkan.
wah..salah guna bahasa nih
eh.. keponakan gw autis beneran.. ‘n aku diselexia beneran..
Tapi ada loe inna, temen kantor gue biar anaknya autis, tetep cuek aja ngomong ‘autis” ke orang2x yang disebut lita diatas
sejak saya membaca soal ini, saya berhenti untuk menggunakan kata itu… yang memang dari dulu sering dipakai untuk seseorang yang cuek dengan lingkungan sekitar… saya benar-benar berhenti…..