Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the wordfence domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/indahjul/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121

Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the jetpack domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/indahjul/public_html/wp-includes/functions.php on line 6121
Juara Penulis - Indah Julianti

Juara Penulis

Anak adalah harta yang tak ternilai bagi orang tuanya. Anak pun selalu menjadi kebanggaan ayah dan ibunya. Jadi jangan heran dan mengatakan orang tua sombong, jika ada orang tua yang kerap menceritakan tentang anak-anaknya. Harap maklum kalau kesannya pun menjadi narsis.

Dan kali ini, saya pun tak bermaksud narsis, hanya ingin bercerita tentang keharuan sekaligus rasa malu, atas apa yang dilakukan kak Lily.

Ini berhubungan dengan mata pelajaran PKPS (Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Sosial). Salah satu babnya mengajarkan tentang Keluarga. Dalam pelajaran Keluarga itu, setiap murid harus mendeskripsikan (benar ngak tulisannya seperti itu ?) apa dan bagaimana orang tuanya, adik, kakak, serta kakek – nenek.

Entah bagaimana Lily menjelaskannya didepan kelas, yang jelas saat saya membaca tulisannya di buku catatannya, tiba-tiba saya merasa terharu, hingga air mata nyaris menggantung di ujung mata. Plus sedikit rasa malu.

Begini tulisannya :

Aku anak pintar

Aku rajin belajar

Inaku penulis

Inaku juara penulis

Inaku kerja di indosiar

Ayahku karyawan

Ayahku kerja di darmais

Langsung saya memanggil Lily, dan bertanya :

“Ini kakak bacain didepan kelas yah ?”
“Iya”.
“Kok kakak bikin Ina penulis?”
“Yah kan, Ina ngak bisa masak. Ina sukanya ngumpulin resep. Masa, aku bikin Ina pinter masak.”
Duh, serasa tertonjok.

“Kan aku seneng Ina penulis. Cuma aku sendiri yang mamanya penulis, semuanya mamanya pinter masak.”
Dua kali tertonjok.

“Bener kakak seneng Ina jadi penulis?”
“Iyalah. Biar aku jadi penulis juga. Biarin aja Mbak Iyah yang masak.”

Tak terasa, airmata yang tadi susah payah ditahan, akhirnya turun juga.

Saya tahu Lily mempunyai pemikiran seperti itu, karena hampir tiap hari dilihatnya saya menulis. Baik di komputer maupun di buku catatan. Sementara soal masak memasak lebih banyak saya serahkan sama asisten dirumah, Mbak Iyah.
Bukannya tidak ada keinginan untuk memasak, tapi dari pada rasanya ngak keruan, lebih baik diserahkan saja pada pakarnya. Cuma kalau urusan mengatur menu dan memberi ide untuk bikin makanan apa untuk cemilan, saya masih mampu 🙂

Lagi pula, karena anak-anak dan suami tidak pernah menuntut saya untuk memasak, maka bisa dibilang, masak memasak dalam sebulan paling cuma sekali. Itu juga masak sayur asem dan goreng ikan 🙂
Duh jangan dicontoh deh model ibu seperti saya.
Dari kejadian diatas, saya merasa apapun saya, anak-anak tetap bangga. Saya pun bertekad untuk menjadi apa diri saya, tetapi saya juga bertekad untuk sedikit bisa memasak, minimal biar ngak malu-maluin. Untuk Lily, terima kasih yah nak, sudah bangga punya ibu seperti Ina.

Leave a Reply