Andrea Hirata : Keajaiban Menulis Novel

Wawancara ini dilakukan pada tahun 2005, saat saya masih bekerja di Indosiar, dan sempat terdokumentasikan di web indosiar.com.

Sengaja saya tulis ulang di blog ini, untuk menjadi pemicu semangat menulis buat siapa pun yang membaca blog ini. Oh ya, pasti pada bertanya kok saya bisa mewawancara seorang tokoh fenomenal sastra Indonesia sekaliber Andrea Hirata, sebenarnya kalau tahu sejarah perkenalan saya dengan Andrea, ya tidak akan heran 🙂

Saya mengenal Andrea Hirata di tahun 2003 dari teman sekantor saya, Ki Agus Wahyudi, yang kebetulan adalah saudara sepupu Andrea Hirata. Saya mengenal Andrea yang saat itu masih berkuliah di Inggris dan kuliah sebentar di Universitas Sorbonne, Perancis. Saya berkenalan dengannya karena ingin dapat info beasiswa di luar negeri. Saat kembali ke Indonesia, Yudi, saudara sepupu Andrea mempertemukan saya dengannya, dan sejak itu pertemanan kami pun terjalin tidak hanya di dunia maya. Oh ya, kalau baca buku Laskar Pelangi, ada endorse di buku atas nama indosiar.com, nah itu tulisan saya 🙂

Terlepas dari banyaknya kontroversi mengenai Andrea Hirata sekarang ini, yang banyak beredar di media mainstream, saya ingin semangat menulis Andrea Hirata bisa menjadi pemicu untuk menulis bagus dan yakin, jika Tuhan sudah berkehendak, siapapun itu bisa menjadi seperti Andrea Hirata!

Yuk, ah dibaca hasil wawancara 7 tahun lalu ini 🙂

————————————

Tak pernah ada dalam pikirannya, namanya sekarang menjadi pembicaraan orang terutama dari komunitas buku. Dua bulan yang lalu, ia hanyalah seorang pegawai yang berkutat dengan analisis keuangan di PT Telkom, Bandung, yang saat Aceh dilanda tsunami, tergerak hatinya untuk menjadi seorang relawan.

“Saya juga heran kenapa novel yang saya tulis dalam waktu 3 minggu itu, bisa menjadi pembicaraan orang banyak. Menulis merupakan dunia baru bagi saya yang tak pernah terbayangkan sebelumnya,” ucap Andrea Hirata, penulis Novel Laskar Pelangi, yang dalam waktu 5 minggu terjual habis dan sekarang sedang menjalani cetak kedua.

Sarjana lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia dan S2 dari Sheffield Hallam University, Inggris, mengaku sudah lama ingin menulis Laskar Pelangi, namun tidak pernah terwujud hingga suatu saat kejadian tsunami di Aceh membawanya menjadi relawan dan hatinya tersentuh melihat banyak sekolah yang hancur.

Terinspirasi sebuah kisah nyata, ia pun mulai menulis novel yang bercerita tentang pengabdian dua orang guru (Pak Harfan dan Ibu Muslimah) dan sebelas anak miskin, yang berjuang untuk bersekolah meski sekolahnya, SD Muhammadiyah Pulau Belitung (SD yang paling tua di Belitung, yang miskin dan papa), terancam ditutup oleh pemerintah daerah.

Belitung sendiri meski terkenal sebagai Pulau Timah, namun tak dapat dinikmati oleh penduduk aslinya. Belitung adalah kabupaten kepulauan yang dikelilingi hampir 200 pulau besar dan kecil. Sejak akhir tahun 2000, kabupaten berpenduduk lebih dari 2 ratus ribu jiwa ini menjadi bagian dari propinsi Bangka Belitung. Beragam etnis hidup berdampingan di kawasan yang memiliki panorama indah ini.

Mengaku tidak memiliki latar belakang sastra, namun sebagaimana ciri khas orang Melayu, Andrea terbiasa mendengarkan cerita dari para orang-orang tua di kampungnya yang bercerita tentang sejarah dan cerita-cerita klasik Melayu Belitung. Sehingga tak heran, dalam menulis Laskar Pelangi, Andrea memiliki gaya penuturan yang kuat, filmis dan cerdas.

Ketika membaca Laskar Pelangi, Anda seakan menemukan Gabriel Garcia Marquez ketika ia bercerita tentang seorang dukun buaya bernama Bodenga, menemukan Nikolai Gogol ketika menuliskan karakter para anggota Laskar Pelangi dan ironi kehidupan penduduk asli Belitung. Atau seperti Alan Lightman saat menceritakan pertikaian ilmiah yang mempertentangkan teori fisika optik antara kawan sebangkunya Lintang yang jenius dengan seorang guru fisika.

“Saat menulis novel ini, yang terpatri di otak saya adalah mengeluarkan semua yang ada dalam pikiran saya. Sebagai tempat curahan hati, saya pun menulis. Ternyata menulis itu mengasyikan dan membuat kita lupa waktu. Akhirnya, seperti sudah menjadi ritual, seusai pulang kantor, saya langsung menulis. Saat menulis saya tak mau tahu apakah tulisan saya itu bagus atau jelek, apakah tulisan saya itu sesuai dengan komposisi, yang penting adalah tulis, tulis dan tulis !,” papar pria yang dari Sheffield Hallam University dengan predikat graduate with distinction.

Sebenarnya, dengan membaca Laskar Pelangi, kita bisa mengetahui seperti apa masa kecil Andrea Hirata. Karena lewat tokoh si Ikal, Andrea hadir dalam novel tersebut.

“Novel ini merupakan memoar tentang masa kecil saya, yang membentuk saya hingga menjadi seperti sekarang. Karena itulah saya sangat berterima kasih dapat bersekolah di sekolah miskin dan memperoleh persahabatan yang indah dari teman-teman saya. Tak lupa, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua guru saya, yang tak pernah mengharapkan rasa terima kasih kecuali melihat siswanya menjadi orang yang berberhasil”, jelas Andrea yang memberikan royalti novelnya kepada perpustakaan sekolah miskin.

Novel ini sendiri direncanakan oleh Andrea merupakan trilogi. Karena itulah, ditengah kesibukannya menjadi pegawai negeri dan pembicara dalam diskusi mengenai Laskar Pelangi, ia terus menulis novel kedua dan ketiganya. Novel keduanya diberinya judul Edensor, yang merupakan kelanjutan dari masa-masa perjuangan Andrea bersama teman-temannya yang termarginalkan. Sedangkan buku ketiga, tentang patriarki dalam budaya orang Melayu.

Keinginan lain Andrea atas novelnya adalah dibuatkan menjadi film.

“Agar misinya tersampaikan. Jika ada yang mau membuat filmnya saya kasih gratis, tentunya dengan ada syarat bahwa pengambilan shooting harus dilakukan di Belitung sendiri, sesuai dengan novelnya. Saat ini memang sudah ada yang menawarnya untuk dijadikan film televisi, namun tanpa mengurangi rasa hormat kepada mereka, saya lebih berkeinginan novel ini menjadi film layar lebar”, ucapnya sambil tersenyum.

Ditengah euforia novel bertema chiklit, teenlit, dan metropop, kehadiran Andrea Hirata dan Laskar Pelanginya memang bagaikan oase ditanah kering. Ironi dan liku-liku hidup kedua guru dan kesebelas anak-anak, yang dijuluki ibu gurunya sebagai para “laskar pelangi”, sungguh menggetarkan. Kesulitan yang mereka alami serta bagaimana beberapa dari mereka, antara lain Andrea sendiri, akhirnya dapat keluar dari kesulitan tersebut memberi benang merah pada novel ini sebagai sebuah bacaan yang sangat inspiratif dan mampu memberi kekuatan.(Indah Julianti Sibarani)

http://news.indosiar.com, Senin 12 Desember 2005.

20 Comments

  1. Nunik Utami February 24, 2013
    • Indah Juli February 24, 2013
  2. Shinta February 21, 2013
  3. Billy Koesoemadinata February 21, 2013
  4. yeye February 15, 2013
  5. helvry February 14, 2013
  6. Rahmi Aziza February 14, 2013
  7. alaika February 14, 2013
  8. yantist February 14, 2013
  9. hana sugiharti February 14, 2013
  10. AYu Pucuk February 14, 2013
  11. Yahya Kurniawan February 14, 2013
  12. Pakde Cholik February 14, 2013
    • IndahJuli February 14, 2013
  13. Dian Kelana February 14, 2013
    • IndahJuli February 14, 2013
  14. Lidya February 14, 2013
    • IndahJuli February 14, 2013
  15. jay boana February 14, 2013
    • IndahJuli February 14, 2013

Leave a Reply