Anakmu Bukan Milikmu
Assamu’alaikum, apa kabar dunia ? Pada awal tahun 2006, kasus kekerasan pada anak terus terjadi. Yang mengenaskan, pelakunya adalah orang tua kandung dari anak yang mengalami child abuse. Tulisan ini sebenarnya sudah lama ingin Ibu posting disini, tapi karena keburu dapat tugas dari kantor, akhirnya dibikin buat kantor dulu deh.
Isi tulisannya seperti ini :
Diawal tahun 2006 ini, banyak media massa memberitakan tentang kasus-kasus perlakuan kasar, penyalahgunaan atau pelecehan (child abuse) terhadap anak-anak.
Pertama kasus yang menimpa gadis kecil berumur 7 tahun yang bernama Eka Suryana, yang dibunuh oleh ibu tirinya namun sebelumnya Eka diperkosa oleh paman tirinya. Alasan ibu tirinya membunuh Eka karena balita perempuan tersebut selalu rewel.
Kedua peristiwa pembakaran 2 orang balita yang awalnya diduga dilakukan oleh ayah kandungnya karena mabok, ternyata dilakukan sendiri oleh sang ibu, yang kesal terhadap tingkah laku ayah kedua bocah itu.
Indah, gadis kecil berusia 3 tahun bersama dengan adiknya Lintang yang baru berusia 11 bulan terpaksa merasakan perihnya luka bakar akibat pembakaran yang dilakukan ibunya. Luka bakar yang dialami Indah lebih parah tinimbang yang diderita adiknya Lintang. Indah mengalami luka bakar pada kepala, wajah dan lengan kirinya. Naasnya, mata kiri Indah kemungkinan tidak akan bisa melihat lagi karena kelopak matanya pun ikut terbakar. Dan tragisnya Indah Novianti akhirnya meninggal dunia pada Senin, 9 Januari 2006.
Pada 10 Januari, Siti Ihtiayatus Soleha, bocah 8 tahun dianiaya ayahnya sendiri dengan cara disetrika. Siti hingga kini belum mampu berjalan dan terpaksa harus digendong sang ibu, Kurniasih.
Penganiayaan Siti dipicu adanya temuan uang 100 ribu rupiah di lemari baju Siti. Karena tidak mengaku saat ditanya, tersangka M Johandi, ayahnya sendiri lalu menyetrika tubuh kecil Siti dengan setrikaan. Menurut Johandi, ia tega melakukan penganiayaan untuk mengajarkan anaknya untuk patuh. Namun karena tidak mau mengaku, emosinya menjadi memuncak.
Sebelum kasus Indah, Eka, dan Siti merebak, pada 22 Desember 2005 ada kasus kematian Soni Suharsono yang dicurigai tidak wajar. Sony yang meninggal dunia di RS Persahabatan, awalnya dikira karena menderita sakit pernafasan. Namun menurut ibu kandung Soni, anak ketiganya itu meninggal dunia karena penganiayaan yang dilakukan oleh ibu tiri dan ayah kandungnya. Soni memang tinggal bersama dengan ibu tirinya, karena orang tuanya bercerai.
Nasib tak kalah tragis dialami gadis kecil berusia 4 tahun, Riva. Hingga sekarang kematian Riva yang janggal di sebuah hotel di bilangan Bungur, Senen, Jakarta Pusat, pada Selasa, 20 Desember 2005 belum menemukan titik terang, karena ibunya yang membawa Riva ke Jakarta menghilang bersama laki-laki, yang mengantarkan mereka ke Jakarta untuk mengambil uang hasil kerja ayah Riva, yang menjadi TKI di Malaysia. Saat meninggal dunia, kondisi Riva sangat mengenaskan. Dari mulutnya keluar busa dan ada luka memar di bagian leher.
Betapa tragis yang dialami mereka dan bisa dikatakan anak tersebut menjadi korban dari masalah yang dialami orang tuanya. Anak tak pernah meminta untuk dilahirkan. Anak tak bisa memilih dari rahim mana ia dilahirkan. Anak tak bisa menentukan orang tua seperti apa yang akan ia miliki.
Semua itu bisa dikatakan adalah konspirasi orang tua, yang atas nama perkawinan dan ingin melengkapi kebahagiaan perkawinan dengan mempunyai keturunan atau anak. Bagi sebagian besar orang, jika tidak mempunyai anak, perkawinan mereka akan dicemooh.
Tapi apa jadinya, jika anak-anak harus menderita ? Apalagi jika anak-anak tersebut dilahirkan dari orang tua yang kehidupan ekonominya tidak memadai, berkekurangan alias miskin ? Bisa jadi anak merupakan beban bagi mereka. Bisa jadi anak menjadi obyek pelampiasan dari ketidak berdayaan orang tua, yang tidak mampu mengatasi kesulitan hidup.
Menurut Ketua Komisi Nasional Anak Seto Mulyadi, kekerasan pada anak mestinya tak pernah terjadi bila mereka diposisikan sebagai subjek, bukan objek. “Orang tua selalu memandang anak sebagai hak miliknya. Yang sekehendak hatinya bisa diperlakukan. Yang masa depannya adalah orang tua yang menentukan”, kata pria yang akrab dipanggil Kak Seto ini.
Selama tahun 2005, Komnas Perlindungan Anak mencatat terjadinya 688 kasus kekerasan pada anak, 381 meliputi kekerasan fisik dan psikologis. Dan 80 persen pelaku kekerasan adalah ibu kandung korban.
Sementara itu menurut Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Meneg PP) Meutia Hatta, sebagian besar anak-anak di Indonesia masih kurang terlindungi. Padahal, mereka berhak untuk hidup, tumbuh dan berkembang serta terlindung dari tindak kekerasan dan diskriminasi, serta mengeluarkan pendapat dan didengar suaranya.
Menurut Meutia, anak-anak Indonesia di 16 provinsi mengalami kekerasan di seluruh tubuhnya, yakni kepala, leher, kaki, tangan, kuku hingga ke ujung kaki. Dan yang melakukan kekerasan itu mulai dari orang tua kandung, orang tua tiri, guru, kakak seputu, paman, satpam, polisi, sopir angkot dan orang-orang di jalan.
“Jadi dimana tempat yang aman bagi anak untuk berlindung dan kepada siapa mereka berlindung. Jadi salah siapa? Perlindungan anak itu bukan sesuatu yang main-main. Kita harus serius memperhatikan perlindungan anak itu,” tandas Meutia.
Dalam Pasal 15 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan dalam Rumah Tangga disebutkan, setiap orang yang mengetahui dan mendengar kekerasan terhadap anak wajib melaporkan sebatas kemampuannya untuk mencegah kelanjutan terjadinya kekerasan, melindungi korban, dan memberikan pertolongan darurat serta meminta penetapan perlindungan terhadap korban.
Namun entah kenapa, banyak orang yang belum melakukannya. Mungkin karena dipicu perasaan tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga orang lain atau diancam oleh para pelaku. Untuk itu, Kak Seto berharap, masyarakat tak ragu-ragu melaporkan bila mereka mengetahui adanya tindak kekerasan terhadap anak melalui PO BOX 13.000 JAKUT.
Selain itu, efektivitas pelaksanaan Pasal 26 Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak perlu ditingkatkan yang mana jika orang tua tidak dapat melaksanakan kewajiban mengasuh, memelihara, dan melindungi anak, maka tindak pengawasan dan pencabutan kuasa asuh harus dilakukan untuk kepentingan terbaik anak.(Idh)