Andai waktu bisa kuputar kembali. Ingin rasanya mengungkapkan semuanya, apa yang dirasa, diinginkan. Mungkinkah?
“Kamu tahu, kamu itu nyebelin banget?!”
“Tapi suka kan?”
“Terpaksa, karena kamu selalu setia menemaniku.”
“Bukannya karena nggak ada yang mau berteman sama kamu, kecuali aku.”
“Talk to hand!”
Suara merdu Shane, salah seorang anggota Westlife, boyband asal Inggris, mendendangkan sebagian lirik lagu “Flying Without Wing’s, terdengar sayup-sayup memenuhi lorong panjang. Beberapa orang hilir mudik dan tampak terburu-buru. Wajah cemas membayangi mereka.
‘Some find it sharing every morning’
‘Some in their solitary lives’
‘You find it in the works of others’
‘A simple line can make you laught or cry’
“Aku suka banget sama lagu ini,” ujarmu.
“Apa?” Tanyamu saat melihatku mengangkat tangan yang menunjukkan tujuh jari. Lalu kamu tertawa terbahak-bahak.
‘You’ll find it in the deepest friendship’
‘The kind you cherish all your life’
‘And when you know how much that means’
‘You’ve found that special thing’
‘You’re flying without wings’
Lagu itu terdengar di seluruh penjuru ruangan.
“Gimana rasanya terbang ya?! Apalagi nggak ada sayap.”
“Burung saja nggak bisa terbang tanpa sayap,” ledekku.
Lagi, kamu tertawa terbahak-bahak.
Aku berlari menyusuri lorong panjang, yang rasanya tak habis-habis dan entah kapan sampai di tujuan. Bau karbon menyengat hidung dan udara dingin dari AC, membuatku tak pernah suka datang ke tempat seperti ini. Rasanya seperti mendatangi kematian.
Kematian? Aku tak sanggup membayangkannya.
Masih terbayang jelas obrolan kita dua hari yang lalu di Anomali Café, saat merayakan keberhasilanmu mempresentasikan produk baru kosmetik tempatmu bekerja. Ditemani lagu “Flying Without Wings” yang dibawakan penyanyi kafe, kita menghabiskan waktu sambil menunggu kemacetan di jalan raya ibukota, mereda.
Kamu tak pernah bosan bercerita tentang lagu Flying Without Wings dan Boy Band Westlife yang sangat kamu sukai itu. Lagu itu, lagu pembangkit semangat meraih mimpi, katamu. Lagu yang bercerita tentang arti kehidupan. Dan, setiap pertemuan kita terutama di tempat favorit ini, kamu selalu meminta penyanyi kafe untuk menyanyikannya. Flying Without Wings mewarnai cerita persahabatan kita.
“Kalau Khalil Gibran punya Sayap-sayap Patah, Westlife punya Flying Without Wings,” jelasmu tanpa kuminta.
“Dan yang suka keduanya, pasti orang patah hati,” tuduhku.
Kamu tertawa sambil memegang perut.
“Benar, kan?” tanyaku.
“Ya enggak juga kali,” jawabmu dengan gaya bicara anak-anak gaul sekarang.
“Aku heran, kamu senang pacaran, tapi selalu putus,” ucapku sambil mengaduk es lemon tea kesukaanku.
“Ya, daripada senang menjomblo, entah kapan terselesaikan status itu,” ledekmu.
Dirimu memang berbeda. Periang, selalu tertawa meski berlumur duka, mudah berteman, dan mudah percaya kepada orang, yang pada akhirnya selalu membuatmu kecewa. Karena itulah kita bersama, cocok. Kata orang, kita ini ibarat amplop dan suratnya. Ibarat panic dengan tutupnya. Saling melengkapi. Aku adalah pendengar setia setiap curahan hatimu.
Aku melangkah pelan-pelan. Berat rasanya, seperti ada ribuan semut yang berpesta pora mengisap kakiku. Tulisan Unit Gawat Darurat (UGD) terpampang jelas di depan mata. Aku tak pernah suka tempat ini, bau karbon dan udara dingin membuat nafasku seakan berhenti. Aku memandang nanar ruangan itu.
“Destia koma!” ucap suara di ujung telepon.
Aku terhenyak saat kekasihmu menjelaskan keadaanmu.
“Kenapa?” Tanyaku terbata.
“Kepalanya terbentur meja saat bangun tidur, kemarin pagi.”
“Demi Tuhan, kenapa kau baru memberitahuku sekarang,” desisku.
“Kamu sahabat terbaiknya, datanglah!”
Udara dingin kembali menusuk. Aku menggigit bibir.
‘And you’re the place my life begins’
‘And you’ll be where it ends’
‘I’m flying without wings’
‘And that’s the joy you bring’
‘I’m flying without wings’
Lorong ini terasa menakutkan. Sepi, dingin, dan kaku. Aku tak percaya akan mendatangi tempat ini untuk menemuimu. Aku tak ingin tempat ini mengakhiri cerita persahabatan kita. Aku memandang ruangan yang tampak menyeramkan itu. Tak ingin melihat apa yang keluar dari sana.
Pintu terbuka. Dengan langkah cepat, pria berbaju putih itu keluar dan menghampiri tiga orang yang sedang menantinya. Dari kejauhan aku menatap mereka. Tak ada keinginan untuk mendekati. Mereka saling berbisik, kemudian ada yang terisak. Aku merasa melayang, jauh ke langit ke tujuh.
Andai waktu bisa kuputar ulang.
“Kau terlalu lelah, kau perlu istirahat,” kataku saat dirimu mengeluhkan sakit kepala yang kerap menghinggapimu.
“Aku tidak apa-apa,” sangkalmu.
Aku tersenyum geli sambil menggeleng-gelengkan kepala. Selalu begitu. Selalu mengelak, dan mengatakan dirimu baik-baik saja.
“Ada apa lihat-lihat,” sergahmu saat aku mengamati wajahmu. Melihat perubahanmu.
Aku kembali tersenyum geli.
Butuh kerja keras untuk meraih kesuksesanmu sekarang.(***)
———
Cerita mini di atas ditulis saat saya mengikuti Gradien Writer’s Audition (GWA).
Tugasnya, menulis satu kisah dengan panjang tulisan 450-500 kata. Tulisan harus menggambarkan tentang lorong ruang gawat darurat, tentang persahabatan, tentang berita yang tidak mengenakkan. Judulnya terinspirasi dari puisi Khalil Gibran dan lagunya Westlife.
Suka mak dengan ceritanya dan Flying Without Wings
good
cerita yang menarik tentang friendship…. sukses
Sumpah ini keren banget… aku penasaran ama cerita lanjutannya…
mungkin dibukukan akan keren…
Ini fiksi atau kenyataan sih mbak Injul? *kemudian mencari tau
Salut mbak dengan tulisannya, aku nulisnya msh belajar mbak, nggak kebayang kalau diminta menulis dgn batasan kata dan tema tema tertentu, pasti langsung grogi dah , kebingungan 😛
keren mak 🙂 ttg persahabatan
Wiuh… keren. Ga pernah bisa deh nulis cerita dengan POV ini. Ikut belajar ya, Maaaaak 🙂
Wuih… keren. Gak pernah bisa deh nulis cerita pake POV ini. Ikut belajar ya, Maaaaak 🙂
mbak Indah…masuk semua sich…cerita ttg persahabatan, berita tdk enak sampai lorong ruang gawat darurat… sip markosip.
Mungkin terlalu banyak mengambil syair lagunya mak Indah Juli… jadi jumlah hurufnya kebanyakan terpakai disitu.
Emang panjang tulisannya harus panjang tulisan 450-500 kata? Rasanya kurang menggigit, terlalu cepat alurnya 🙂
Iya, mbak Ika, terasa kurang menggigit dan cepat alurnya ya, karena harus ditulis dalam 500 kata, mencakup semua kisi-kisi yaitu lorong rumah sakit, perasaan mendengar sahabat masuk rumah sakit, kematian dan kebahagiaan, yang harus bisa show bukan tell 😀
Btw, terima kasih untuk koreksi dan kunjungannya.