“Kalya?!”
Tak ada sahutan. Hanya rintik hujan yang terdengar dari luar.
”Kalya, kaukah itu?”
Suara lirih terdengar kembali memanggil.
Bau tanah menyeruak ketika jendela kamar terbuka. Sejenak kupejamkan mata, menghirup udara dingin. ”Ah, nikmatnya,” kataku dalam hati.
Senja itu, hujan menemani. Rasanya, baru saja matahari tersenyum ceria, namun tanpa permisi, langit menumpahkan tangisnya, membasahi bumi. Aku memandang langit mencari sosok yang kurindukan.
”Aku harus pergi.”
”Secepat ini? Aku masih rindu,” ucapku sambil memegang tanganmu. Dingin.
”Aku pun rindu, tapi hujan sudah usai, aku harus pergi,” jawabmu sambil tersenyum. Senyum yang selalu menghiasi mimpi-mimpiku.
”Kau sakit?” tanyaku saat melihat wajahnya yang pucat.
Engkau menggeleng, dan menepis tanganku yang ingin meraih wajahmu.
”Wajahku memang seperti ini, kan. Wajah orang sakit, ” ujarmu mencoba berseloroh.
Aku mencoba tersenyum, meski terasa berat. Selalu seperti ini. Enggan berpisah namun kau tetap pergi.
”Kapan kau datang lagi?” Pertanyaan yang selalu kuulang, di ujung pertemuan.
Kembali senyum menghias wajahmu.
”Kau selalu bertanya padahal kau tahu jawabannya.”
”Agar aku bisa menghitung hari,” kilahku.
Perlahan, pelangi di langit mulai menghilang. Dengan terburu-buru, kau mengecup keningku. ”Sampai nanti.”
Hariku pun kembali sunyi. Sepi tanpa kehadiranmu. Hanya dinding-dinding kamar yang setia menemani dan merasakan kerinduanku padamu.
Terpatri jelas dalam ingatanku, kala pertama kali berjumpa denganmu. Hujan tiba-tiba datang membasahi taman rumah sakit, tempatku menginap setelah seorang polisi salah sasaran menembak dan membuatku terkapar tak berdaya. Aku yang sedang duduk di kursi taman rumah sakit, berlari menghindar serbuan hujan.
”Sialan,” rutukku begitu tiba di selasar rumah sakit, hujan pun berhenti.
”Jangan menyumpah, tak baik. ” Suara merdu mampir di telingaku.
Sambil menepuk-nepuk sisa hujan di baju rumah sakit, aku mencari pemilik suara itu. Sinar pelangi nyaris menyilaukan pandanganku. Tak jauh, kau memandangku sambil tersenyum. Senyum tak yakin terlukis di bibirku. Ragu, benarkah kau tersenyum padaku?
Perlahan, kau menghampiriku. Aku terpana, seakan kau turun dari jembatan bernama pelangi.
”Jangan bengong gitu dong, biasa sajalah,” tuturmu sambil mengulurkan tanganmu, mengajak berkenalan.
”Eh, maaf. Kaget saja, tiba-tiba kamu muncul,” jawabku memberi alasan.
Kami berdiri bersisian, menatap pelangi. Cahaya yang beraneka warna memberi keindahan siang itu.
”Kupikir kamu peri pelangi yang turun dari langit.”
”Aku memang turun dari langit,” ucapmu, enteng.
Aku tersentak. Langsung melihat kakinya, menapak tanah.
Kamu tertawa kecil melihat reaksiku.
”Memangnya kamu pikir peri itu kuntilanak,” ejekmu.
”Ya, sama-sama tak nyata,” kilahku.
Kamu kembali tertawa. Entah kenapa, aku menyukai gayamu tertawa. Renyah. Tak hanya tawamu, semua yang ada padamu merasuk ke dalam sukma. Sejak itu, dirimu kerap datang menemani hari-hariku di rumah sakit. Ketika keluargaku memutuskan untuk merawatku di rumah, kupikir kita tak akan pernah bertemu lagi.
”Besok aku akan pulang.”
”Kamu kan belum sembuh,” ujarmu.
”Keluargamu sudah tak mampu menanggung biaya rumah sakit,” jelasku.
”Bukankah kantor polisi itu memberikan bantuan?” tanyamu.
”Entahlah, mereka sudah memutuskan.”
Aku menghela nafas. Rasanya ada batu besar yang mengganjal pernafasanku.
Kau memandangku khawatir. ”Ada yang sakit?”
Aku menggeleng dan tersenyum. Tak ingin membuatnya khawatir. Kuraih tanganmu dan menggenggamnya erat.
”Maukah datang ke rumahku?”
”Selama matahari bersinar dan hujan datang, aku akan menemuimu di mana pun,” ucapmu puitis.
Aku pun merindu hujan. Merindukan pelangi, yang bersinar cerah. Merindu tawa renyahmu. Merindu wajah pucatmu. Seperti saat ini, ketika hujan tiba-tiba datang. Aku pun berharap kau datang.
Ibu yang tahu betapa aku menyukai pelangi, membuka pintu kamar lebar-lebar. Sejak kembali dari rumah sakit, keluargaku menempatkanku di kamar yang menghadap ke halaman belakang yang luas, tempat keponakan-keponakan biasa bermain, berlari-larian.
”Sementara aku menghangatkan air, kau tunggulah pelangi, semoga datang,” ucap Ibu.
Aku tersenyum. ”I love you, mom,” kataku dalam hati.
Rumput hijau di halaman belakang seperti senang dengan datangnya hujan. Dahaga akan air, terpenuhi seketika. Aku mencoba memandang ke luar, menggapai langit. Tapi sepertinya hujan terlalu deras, dan memadamkan keinginanku.
”Waktunya membersihkan diri,” seru Ibu yang memasuki kamar dengan menenteng ember kecil.
”Sebentar lagi ya, Bu. Tunggu hujan selesai,” kataku.
Tapi Ibu tak mau tahu. Sambil membersihkan badanku, Ibu meneruskan ceritanya.
”Sang Putri yang tidak tahu kalau ia sebenarnya adalah seorang putri raja yang diculik, diam-diam memperhatikan kegiatan si Penyihir.”
Supaya Sang Putri tidak berhasil ditemukan keluarganya, si Penyihir menyembunyikannya di balik awan. Tapi, Penyihir bukanlah orang yang betah tinggal di awan. Sesekali ia pergi ke bumi. Sang Putri memperhatikan Penyihir akan turun ke bumi jika pelangi muncul, setelah hujan yang datang tiba-tiba dan matahari masih bersinar.
Aku asyik mendengarkan ceritanya. Gaya Ibu bercerita membuatku selalu menunggu kelanjutan ceritanya.
”Si Penyihir tidak tahu, ketika ia turun ke bumi, diam-diam Sang Putri mengikutinya turun,” tutur Ibu.
Di bumi, lanjut Ibu, Sang Putri menemukan berbagai hal yang menarik hatinya. Namun ia tak bisa berlama-lama di bumi, karena pelangi yang menjadi jembatannya menuju bumi, perlahan-lahan mulai menghilang.
”Kenapa ia tak tinggal saja di bumi,” ucapku dalam hati.
Seakan menjawab perkataanku, Ibu mengatakan kalau Sang Putri bukan tak ingin tinggal di bumi, tapi Sang Putri tak punya orang yang dikenal selain Si Penyihir. Selain itu, Sang Putri tak ingin kekuatan menyembuhkan yang diberikan Si Penyihir kepadanya, hilang lenyap jika ia tinggal di bumi.
”Sang Putri selalu datang ke bumi jika ada orang yang mengharapkan pertolongannya untuk disembuh. Sang Putri adalah penyembuh bagi manusia bumi,” jelas Ibu.
Hujan pun berhenti bersamaan dengan selesainya Ibu membersihkan jari-jariku. Ibu kemudian meninggalkanku sendiri, untuk mengambilkan makananku.
Aku kembali memandang pintu kamar. Berharap kedatanganmu. Detik demi detik berlalu, hingga malam menjelang, kehadiranmu tak kunjung tiba. Penantianku sia-sia. Aku mencoba tidur, mengenang dirimu.
Aku terbangun karena rasa sakit di kepala. Aku berusaha memegang kepala, namun tanganku terlalu lemah untuk melakukannya.
”Kepalamu sakit?” Suara merdu itu kembali menghampiriku.
Kaget, aku membuka mata lebar-lebar, mencari sosok yang kurindukan. Ia berdiri di samping tempat tidur, menatapku yang terbaring lemah.
”Kapan kau datang? Aku sangat merindukanmu,” kataku.
”Kau pasti lupa meminum obatnya,” selamu tanpa menjawab pertanyaanku.
Dengan lembut ia memasukkan obat ke mulutku, dan memberikan minuman melalui sedotan. Tanganku berusaha meraihnya.
”Kalau kau seperti ini, bagaimana bisa sembuh.”
”Hanya kau yang bisa menyembuhkanku,” kilahku.
”Memang kedatanganku untuk menyembuhkanmu,” ucapmu, tajam.
”Kau tak akan pergi lagi?” tanyaku.
Ia menggeleng. ”Hingga kau sembuh, aku akan menemanimu.”
Aku tersenyum bahagia. Kugenggam erat tangannya, tak ingin lepas. Aku takut jika aku tertidur ia akan pergi.
Pagi kulalui bersamamu. Ibu datang untuk membersihkanku. Kau membantunya dengan senang hati.
”Wajahmu berseri-seri, pasti kau sedang senang ya,” ucap Ibu.
Aku hanya tersenyum. Aku menatapmu yang berdiri di samping Ibu.
”Hari ini dokter akan datang memeriksamu, semoga lebih baik,” jelas Ibu.
Aku dan kau tersenyum bahagia.
Ibu lalu meninggalkan kita berdua. Kau lalu memijat-mijat tangan dan jariku. ”Untuk memberimu kekuatan,” katamu.
Ketika kau sedang asyik membacakan cerita untukku, dokter datang untuk memeriksaku. Ibu dan kau memandang dengan harap-harap cemas.
”Bagus, semakin banyak perkembangan,” jelas dokter.
Aku mencoba mengangkat bibir untuk tersenyum. Tanganku bereaksi saat dokter menepuk-nepuk punggung tangan. ”Tangannya semakin kuat,” ujar dokter.
”Terima kasih,” ucapku saat kau memandangku dengan bahagia.
Ibu lalu mengantarkan dokter ke luar, meninggalkan kita berdua.
Hujan tiba-tiba datang. Matahari tak sempat menyelamatkan diri. Sinarnya menghiasi langit, membentuk pelangi indah berwarna-warni. Aku tertegun memandangmu. Kau tersenyum.
”Ada pelangi,” ucapku lirih. Kau tersenyum.
”Kau akan pergi?” tanyaku.
Kau mengangguk.
”Bukankah kau berjanji akan ada di sisiku, selamanya,” kataku sendu.
”Kau tahu itu tak mungkin,” jawabmu.
Aku terdiam.
”Aku berjanji akan datang menemui bersama dengan pelangi,” tuturmu.
”Pelangi tak tentu datangnya,” kilahku.
Kau kembali tersenyum.
”Walau aku sudah sembuh, kau tetap datang menemuiku?” tanyaku mencari kepastian.
”Jika hujan datang, berharaplah pelangi muncul.”
Kau menggenggam tanganku erat. Aku menatapmu lekat, memotretmu dengan mataku.
Aku berlari menuju halte terdekat ketika hujan tiba-tiba luruh dari langit. ”Sialan,” rutukku ketika hujan berhenti sesaat setelah aku sampai di halte. Aku lalu memandang langit yang bersinar cerah, seperti tak terkena hujan. Tiba-tiba pelangi muncul. Seperti ada magnet yang mengajakku untuk menatap pelangi. Aku terpana. Beberapa kali kukerjabkan mata, tak yakin dengan penglihatanku. Dengan pakaiannya yang indah, kulihat seorang putri berjalan menuruni pelangi menuju bumi!(***)
——
Cerita ini adalah cerita pendek hasil iseng-iseng, tadinya mau dibuatkan novel, tapi malas dan buntu ide melanjutkannya.
Terpikir untuk membuatkan menjadi Cerita Estafet (Cerfet) dengan mengajak beberapa teman (6 orang maksimal) untuk menyelesaikan cerita ini hingga tamat.
Apa itu Cerfet? Ini ulasannya:
Cerfet merupakan rangkaian cerita fiksi bersambung yang ditulis oleh dua orang atau lebih dan menjadi suatu kesatuan cerita yang utuh. Istilah cerfet ini, menurut Maknyak/Labibah Zain (founder komunitas blogfam) seperti yang ditulis ulang oleh YNa dengan judul The Messenger, ‘Nakal’ dan penuh surprise , secara sederhana dijelaskan sebagai berikut:“Persis seperti adegan pertandingan lari di dunia olah raga. Penulis A akan menyerahkan tongkat estafet penulisan kepada penulis B dan penulis B setelah menulis akan menyerahkan tongkat kepenulisan kepada penulis C, begitu seterusnya sampai mencapai garis FINISH yang berupa ending cerita tersebut. Penulisan seperti ini memerlukan kerja team yang hebat dan kuat. Masing-masing penulis, sebagaimana dalam lomba lari estafet, harus saling mendukung cerita. Sekali saja penulis lengah, akan bubarlah keutuhan ceritanya.Penulisan Cerfet memiliki kaidah/aturan tersendiri yang mesti dipatuhi oleh tiap penulis :– Jumlah kata– Jumlah posting– Tenggat waktu antara posting yang satu dan posting selanjutnya– Urutan posting dari tiap penulis ditetapkan sedemikian rupa sesaat sebelum cerfetditayangkanKhusus untuk urutan posting dibagi dalam beberapa segmen (tergantung jumlah penulis) dan masing-masing penulis akan diberi jatah urutan berbeda di tiap segmen.Hal ini dimaksudkan tidak hanya untuk memberi porsi urutan berpindah dari tiap penulis tapi juga menghindari pola berulang yang monoton.Tim Penulis mendiskusikan secara cermat aturan-aturan penulisan termasuk segala konsekuensinya. Namun demikian, aturan dimaksud, lebih kepada masalah teknis terutama menjaga kedisiplinan tiap penulis berada dalam koridor yang sudah ditetapkan dan tidak mengekang kebebasan berekspresi secara menyeluruh dari tiap penulis.”
- Tokohnya adalah Aku dan Kalya (nggak boleh berubah, kalau pun mau ditambahin tokoh, jangan kebanyakan)
- Genre : semoga bisa menjadi romance
- Jumlah kata : 1000
- Putaran : 3 kali
- Setiap penulis tidak boleh memaksa penulis berikutnya untuk melanjutkan cerita sesuai keinginannya : Contoh. Penulis A tidak boleh maksa si B meneruskan ide-ide si A. Si B bebas berkreasi menulis lanjutan cerita sesuai dengan imajinasi dan kreasinya sendiri.
-
Urutan penulisan setiap putaran HARUS berubah, biar tidak bosen dan terbawa arus oleh penulis yang itu-itu lagi. Dengan adanya perubahan formasi, setiap penulis akan mengalami gaya yang berbeda dari penulis-penulis sebelumnya. Urutan penulis akan dilakukan kalau semua penulis sudah sepakat dengan ketentuan diatas. Nantinya akan diundi deh. Kalo nggak, putaran 2 dan seterusnya akan dilakukan pengacakan lagi.
Untuk pertama kalinya, saya mau mengajak Makmin Kumpulan Emak Blogger (KEB) Spesialis Malam (Tukang Ronda) Carolina Ratri atau Red Carra yang punya blog di www.redcarra.com
Silakan Jeng Carra untuk melanjutkannya, kemudian nanti menunjuk teman yang mau ikutan dalam penulisan #Cerfet #KEB ini.
Terima kasih 🙂
ditunggu ya kelanjutannya
Beberapa bagian ada yg nggak konsisten. Dari ku jadi nya. Dan ya, terlalu banyak kata ganti ku. 😀
wao….
mupengggg
Wooowwww….bisa nerusin gak yaa..???? # itung kancing baju 🙂
MakPuh dan Mak RedCarra, aku mau donk dilibatkan untuk belajar nih mengembangkan kreasi yang sudah dimulai lebih dahulu oleh orang lain. Ikuuuuuuuuuuut ya, makbunbun ikuuuutan.
huwah…keren nih MakPuh. Jadi penasaran nanti mbakyu Carra ngelanjutinnya gimana hohohoho
Щ(ºДºщ) *emot yang sama dimana2*
*lalu tertunduk lesu di pojokan, cari pangsit*