Menikah Bukan Prestasi, Bukan Perlombaan

Ya kali kalau ada yang menganggap menikah itu prestasi, silakan saja, bebas, sah-sah aja. Tapi kalau buat daku sih ya, menikah bukan prestasi, bukan juga perlombaan, siapa yang sampai duluan di garis finish, dia yang menang. Dapat tepuk tangan, dapat penghargaan atau award. Gitu?

Tunggu saja deh sampai benar-benar menikah dan menghadapi segala pernak perniknya. Syukur-syukur masih waras dan bertahan dalam pernikahan. Ada teman, yang pacarannya sampai delapan tahun lalu menikah, nggak sampai setahun, proses bercerai. Seremnya tuh, waktu pacaran mesranya minta ampun, bikin iri khalayak ramai, begitu cerai, saling bongkar kekurangan masing-masing bahkan sampai keluarganya saling bermusuhan.

 

 

Menikah Bukan Prestasi

 

Menikah Bukan Ajang Pembuktian atau Tuntutan

Oh ya postingan tentang menikah bukan prestasi ini, terpicu dari post IG salah salah akun yang mengatasnamakan ibu-ibu (entah komunitas, entah forum), tentang menikah muda dan enaknya punya anak saat usia duapuluhan tahun. Kata akun tersebut; menikah muda itu enak karena:

  • Banyak energi buat mandiin anak atau ngejar-ngejar anak yang lari-lari setiap hari.
  • Nggak masalah kurang tidur, karena udah biasa ngerjain skripsi sampai larut malam
  • Usia belum terlalu tua jika anak besar nanti, bisa lihat cucu.

Yuk Dibaca tentang: Boleh Menikah Muda

 

Komentar di akun itu pun beragam. Ada yang setuju, nggak sedikit juga yang kontra. Ada yang komen; “Saya nikah muda, 22 tahun, tapi sudah delapan tahun menikah, belum rezeki momong anak sendiri. Gimana dong kalau nanti umur 40-an dikasih anaknya.”

Yang paling epik, komentar seperti ini: Menikah atau tidak, mau punya anak atau tidak, itu pilihan hidup masing-masing individu. Pertanyaan kapan menikah dan kapan punya anak itu, sama seperti pertanyaan kapan kita mati. Karena tiap orang tuh punya takdir yang beda. Kalau sama, namanya buku bimbel (bimbingan belajar) –> sumpah, ku ngakak pas baca komen ini. 

 

Menikah, Tidak Menikah?

Memang ya, topik tentang menikah atau tidak menikah ini, paling seru pembahasannya. Nggak ada habis-habis. Nggak nikah, dinyinyirin. Menikah tapi telat alias menikah di usia matang (misalnya 30 tahun ke atas), juga dinyinyirin. Hidup kita memang selo banget buat ngurusi orang.

Dulu ya, daku pernah lho berpikiran untuk nggak mau menikah, karena merasa ribet dengan berbagi rasa dengan orang lain. Merasa sudah tercukupi kasih sayang dari orang tua, adik-adik dan keluarga lainnya. Mama almarhum tuh yang selalu mengingatkan jangan sampai tidak menikah, apalagi seorang perempuan.

Karena pemikiran itu juga, dari lima bersaudara, daku yang paling tua usia menikahnya, 27 tahun. Bahkan, ku menikah dengan Mas Iwan, setelah dua adik perempuan menikah lebih dulu. Keempat adik menikah di usia muda. Dua adik perempuan menikah di usia 23 tahun, sedangkan dua adik laki-laki saya, menikah di usia 24 tahun dan 25 tahun. Umur yang relatif muda buat laki-laki menikah.

Almarhumah Mama sampai stress karena daku dilangkahi dua adik perempuan yang usianya tidak begitu jauh (jarak dua tahun). Tiada hari tanpa doa dalam sholat Mama, agar daku dimudahkan dalam perjodohan. Berbagai cara dilakukan termasuk perjodohan antar keluarga (seperti yang biasa dilakukan orang Batak), biar daku segera menikah.

 

Usia Menikah

Takdir menentukan daku menikah juga di tahun 1999, dua tahun setelah pernikahan adik yang nomor tiga. Setahun kemudian lahir Taruli, tahun 2004 lahir Kayla, tahun 2009 lahir Tiominar, dan sekarang di tahun 2018 sudah 19 tahun menikah. Masih kuat ngejar-ngejar anak lari-larian dan masih punya energi banyak buat ngomel-ngomel.

Sementara itu, adik yang nomor empat, laki-laki, menikah di usia 25 tahun, sudah sepuluh tahun menikah, belum rezekinya untuk mendapatkan keturunan, meski telah berbagai usaha dilakukan. Adik laki-laki yang bungsu, menikah di usia 24 tahun, sudah punya anak tiga orang, laki-laki semua. Dan istrinya sudah minta nggak mau melahirkan lagi, tiga anak sudah cukup, karena energinya sudah terkuras buat mengurusi tiga anak, plus bekerja kantoran juga.

Jadi ya, menikah di usia muda atau pun menikah di usia tua, tidak muda lagi, nggak ada urusannya dengan energi buat menemani anak bermain-main. Nggak ada hubungannya dengan kurang tidur karena harus begadang menemani istri atau merawat anak bayi. Nggak terkait dengan nanti bisa lihat cucu.

Btw, Mama dan Bapak saya (almarhum) menikah telat juga – di masanya, pada usia 26 dan 28 tahun. Masih sempat bermain-main dengan cucunya bahkan mengantar sekolah, sebelum meninggal dunia pada usia 70 tahun (Bapak) dan usia 68 tahun (Mama).

 

Kenapa menikah bukan prestasi buat saya?

Karena menikah bukan ajang perlombaan, ajang pembuktian pada orang lain, menikah juga bukan karena tuntutan atau pun paksaan dari orang sekitar.

Menikah lah kalau merasa sudah siap untuk berbagi rasa dengan orang lain plus keluarganya. Sudah siap memberi atau menerima nafkah lahir bathin bagi pasangan suami istri. Seperti yang diutarakan dalam agama yang daku anut dan pemikiran yang cetek dalam agama ini, hukum menikah itu:

  • Sunnah, bila seseorang berkeinginan untuk menikah serta memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin.
  • Wajib, bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinahan apabila tidak segera menikah.
  • Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah.
  • Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.

Kalau merasa belum mampu untuk menikah atau pun belum bertemu jodohnya, santai saja.

 

Menikah Bukan Prestasi

 

Menikah bukan prestasi. Apalagi kalau sampai menikah berkali-kali.

Menikah bukan prestasi, bukan ajang perlombaan. Belum menikah bukan berarti kalah. Menikah itu bukan solusi mencari kebahagiaan, bukan untuk menghindari rasa sepi, dan bukan juga pelarian dari persoalan hidup terutama persoalan yang terjadi di dalam keluarga.

Menikah itu pilihan hidup, yang harus dipertanggungjawabkan. Menikah itu nggak hanya untuk dua orang (aku dan kau), tetapi juga mereka, keluarga masing-masing.

Dan menurut daku nih, ketika kita menikah, harus siap dengan segala yang ada pada pasangan kita. Misalnya kepribadian sesungguhnya. Dulu saat pacaran atau berhubungan, belum terlalu terlihat kepribadian sesungguhnya. Begitu menikah? Ingusannya, berantakannya, makannya ternyata ngecap atau bunyi-bunyi, plek langsung terlihat. Mau marah-marah? Inget ya, pasanganmu seperti itu sampai seumurnya menikah dan keluarganya nggak mempermasalahkan.

Nggak suka? Bukankah saat sebelum menikah mengatakan akan menerima pasangan apa adanya? Nikmatilah.

Mau mengubah, ya boleh-boleh saja, asal pelan-pelan, jangan drastis. Bisa-bisa, tiap hari bakal terjadi perang Bratayudha.

Menikah untuk meraih kebahagiaan?

Ya kali, kalau definisi kebahagiaannya adalah punya pasangan dan punya anak, sementara kebutuhan hidupnya, nafkah lahirnya ya gitu deh. Eh, daku percaya ya, setiap orang punya rezeki masing-masing yang sudah tertuliskan. Tapi kan rezeki itu mesti dijemput, nggak begitu saja ujug-ujug datang, kecuali memang dari keturunan keluarga kaya raya, yang sampai ratusan turunan nggak habis-habis dimakan rayap.

Bahagia itu nggak hanya bathin, tetapi juga lahirnya, raganya, keinginan-keinginannya. Sebelum menikah, merasa bahagia, bebas tanpa hambatan. Setelah menikah, meski terikat tetaplah harus merasa bahagia. Benar-benar bahagia lho, bukan pura-pura bahagia. Terutama perempuan nih, yang dalam urusan bahagia itu, hatinya yang paling terasa.

Buat laki-laki nih, jangan salah ya, orangtua perempuan, mengizinkan kalian menikahi anaknya untuk bahagia lahir dan bathin. Saat ijab, si Bapak ikhlas menyerahkan anak perempuannya, untuk hidup bersama tanpa tersakiti. Kalau menikah, trus hidupnya susah, nggak bahagia lahir dan bathin, ya jangan kesal atau pun marah, kalau anak perempuan itu minta, “pulangkan saja aku ke rumah orangtuaku.”

 

Menikah Bukan Prestasi

 

Duh panjang amat ya sessi curhat menikah bukan prestasi ini. Udah menikah kok nyaranin orang nggak nikah sih? Nggak, daku bukan nyaranin nggak nikah, tapi menikahlah kalau memang sudah yakin seyakin yakinnya untuk menjalani pernikahan dengan bahagia.

42 Comments

  1. Hidayah Sulistyowati December 18, 2018
  2. Rifqy Faiza Rahman December 6, 2018
  3. gusmakruf November 23, 2018
  4. swastikagie November 19, 2018
  5. mesra berkelana November 17, 2018
    • indahjuli November 19, 2018
  6. IRa November 16, 2018
    • indahjuli November 19, 2018
  7. ucig November 15, 2018
    • indahjuli November 19, 2018
  8. Tuteh November 15, 2018
    • indahjuli November 19, 2018
  9. Faradila Putri November 15, 2018
    • indahjuli November 19, 2018
  10. Pink Traveler November 15, 2018
    • indahjuli November 19, 2018
  11. Sulis November 14, 2018
  12. Nuno November 14, 2018
  13. Nuno November 14, 2018
  14. Tanti Amelia November 14, 2018
  15. Agustina Dwi Jayanti November 14, 2018
  16. Charis November 14, 2018
  17. Bulan November 14, 2018
  18. antung apriana November 14, 2018
  19. Gallant Tsany Abdillah November 14, 2018
  20. Sandra Nova November 14, 2018
  21. Momtraveler November 14, 2018
  22. ima satrianto November 14, 2018
  23. Arif November 14, 2018
  24. Nasirullah Sitam November 14, 2018
    • Charis November 14, 2018
  25. Yayuk Kurnianingsih November 14, 2018
  26. Nova November 14, 2018
  27. Bibi Titi Teliti November 14, 2018
  28. Anazkia November 14, 2018
  29. dwi susanti November 14, 2018
  30. Tarry Kitty November 14, 2018
  31. Molly November 14, 2018
  32. Aliko Sunawang November 13, 2018
    • indahjuli November 14, 2018
  33. Elisabeth Murni November 13, 2018
    • indahjuli November 14, 2018

Leave a Reply