Ya kali kalau ada yang menganggap menikah itu prestasi, silakan saja, bebas, sah-sah aja. Tapi kalau buat daku sih ya, menikah bukan prestasi, bukan juga perlombaan, siapa yang sampai duluan di garis finish, dia yang menang. Dapat tepuk tangan, dapat penghargaan atau award. Gitu?
Tunggu saja deh sampai benar-benar menikah dan menghadapi segala pernak perniknya. Syukur-syukur masih waras dan bertahan dalam pernikahan. Ada teman, yang pacarannya sampai delapan tahun lalu menikah, nggak sampai setahun, proses bercerai. Seremnya tuh, waktu pacaran mesranya minta ampun, bikin iri khalayak ramai, begitu cerai, saling bongkar kekurangan masing-masing bahkan sampai keluarganya saling bermusuhan.
Menikah Bukan Ajang Pembuktian atau Tuntutan
Oh ya postingan tentang menikah bukan prestasi ini, terpicu dari post IG salah salah akun yang mengatasnamakan ibu-ibu (entah komunitas, entah forum), tentang menikah muda dan enaknya punya anak saat usia duapuluhan tahun. Kata akun tersebut; menikah muda itu enak karena:
- Banyak energi buat mandiin anak atau ngejar-ngejar anak yang lari-lari setiap hari.
- Nggak masalah kurang tidur, karena udah biasa ngerjain skripsi sampai larut malam
- Usia belum terlalu tua jika anak besar nanti, bisa lihat cucu.
Yuk Dibaca tentang: Boleh Menikah Muda
Komentar di akun itu pun beragam. Ada yang setuju, nggak sedikit juga yang kontra. Ada yang komen; “Saya nikah muda, 22 tahun, tapi sudah delapan tahun menikah, belum rezeki momong anak sendiri. Gimana dong kalau nanti umur 40-an dikasih anaknya.”
Yang paling epik, komentar seperti ini: Menikah atau tidak, mau punya anak atau tidak, itu pilihan hidup masing-masing individu. Pertanyaan kapan menikah dan kapan punya anak itu, sama seperti pertanyaan kapan kita mati. Karena tiap orang tuh punya takdir yang beda. Kalau sama, namanya buku bimbel (bimbingan belajar) –> sumpah, ku ngakak pas baca komen ini.
Menikah, Tidak Menikah?
Memang ya, topik tentang menikah atau tidak menikah ini, paling seru pembahasannya. Nggak ada habis-habis. Nggak nikah, dinyinyirin. Menikah tapi telat alias menikah di usia matang (misalnya 30 tahun ke atas), juga dinyinyirin. Hidup kita memang selo banget buat ngurusi orang.
Dulu ya, daku pernah lho berpikiran untuk nggak mau menikah, karena merasa ribet dengan berbagi rasa dengan orang lain. Merasa sudah tercukupi kasih sayang dari orang tua, adik-adik dan keluarga lainnya. Mama almarhum tuh yang selalu mengingatkan jangan sampai tidak menikah, apalagi seorang perempuan.
Karena pemikiran itu juga, dari lima bersaudara, daku yang paling tua usia menikahnya, 27 tahun. Bahkan, ku menikah dengan Mas Iwan, setelah dua adik perempuan menikah lebih dulu. Keempat adik menikah di usia muda. Dua adik perempuan menikah di usia 23 tahun, sedangkan dua adik laki-laki saya, menikah di usia 24 tahun dan 25 tahun. Umur yang relatif muda buat laki-laki menikah.
Almarhumah Mama sampai stress karena daku dilangkahi dua adik perempuan yang usianya tidak begitu jauh (jarak dua tahun). Tiada hari tanpa doa dalam sholat Mama, agar daku dimudahkan dalam perjodohan. Berbagai cara dilakukan termasuk perjodohan antar keluarga (seperti yang biasa dilakukan orang Batak), biar daku segera menikah.
Usia Menikah
Takdir menentukan daku menikah juga di tahun 1999, dua tahun setelah pernikahan adik yang nomor tiga. Setahun kemudian lahir Taruli, tahun 2004 lahir Kayla, tahun 2009 lahir Tiominar, dan sekarang di tahun 2018 sudah 19 tahun menikah. Masih kuat ngejar-ngejar anak lari-larian dan masih punya energi banyak buat ngomel-ngomel.
Sementara itu, adik yang nomor empat, laki-laki, menikah di usia 25 tahun, sudah sepuluh tahun menikah, belum rezekinya untuk mendapatkan keturunan, meski telah berbagai usaha dilakukan. Adik laki-laki yang bungsu, menikah di usia 24 tahun, sudah punya anak tiga orang, laki-laki semua. Dan istrinya sudah minta nggak mau melahirkan lagi, tiga anak sudah cukup, karena energinya sudah terkuras buat mengurusi tiga anak, plus bekerja kantoran juga.
Jadi ya, menikah di usia muda atau pun menikah di usia tua, tidak muda lagi, nggak ada urusannya dengan energi buat menemani anak bermain-main. Nggak ada hubungannya dengan kurang tidur karena harus begadang menemani istri atau merawat anak bayi. Nggak terkait dengan nanti bisa lihat cucu.
Btw, Mama dan Bapak saya (almarhum) menikah telat juga – di masanya, pada usia 26 dan 28 tahun. Masih sempat bermain-main dengan cucunya bahkan mengantar sekolah, sebelum meninggal dunia pada usia 70 tahun (Bapak) dan usia 68 tahun (Mama).
Kenapa menikah bukan prestasi buat saya?
Karena menikah bukan ajang perlombaan, ajang pembuktian pada orang lain, menikah juga bukan karena tuntutan atau pun paksaan dari orang sekitar.
Menikah lah kalau merasa sudah siap untuk berbagi rasa dengan orang lain plus keluarganya. Sudah siap memberi atau menerima nafkah lahir bathin bagi pasangan suami istri. Seperti yang diutarakan dalam agama yang daku anut dan pemikiran yang cetek dalam agama ini, hukum menikah itu:
- Sunnah, bila seseorang berkeinginan untuk menikah serta memiliki kemampuan untuk memberikan nafkah lahir maupun batin.
- Wajib, bagi yang memiliki kemampuan memberikan nafkah dan ada kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zina bila tidak segera melangsungkan perkawinan. Atau juga bagi seseorang yang telah memiliki keinginan yang sangat serta dikhawatirkan akan terjerumus ke dalam perzinahan apabila tidak segera menikah.
- Makruh, yaitu bagi yang tidak mampu memberikan nafkah.
- Haram, yaitu apabila motivasi untuk menikah karena ada niatan jahat, seperti untuk menyakiti istrinya, keluarganya serta niat-niat jelek lainnya.
Kalau merasa belum mampu untuk menikah atau pun belum bertemu jodohnya, santai saja.
Menikah bukan prestasi. Apalagi kalau sampai menikah berkali-kali.
Menikah bukan prestasi, bukan ajang perlombaan. Belum menikah bukan berarti kalah. Menikah itu bukan solusi mencari kebahagiaan, bukan untuk menghindari rasa sepi, dan bukan juga pelarian dari persoalan hidup terutama persoalan yang terjadi di dalam keluarga.
Menikah itu pilihan hidup, yang harus dipertanggungjawabkan. Menikah itu nggak hanya untuk dua orang (aku dan kau), tetapi juga mereka, keluarga masing-masing.
Dan menurut daku nih, ketika kita menikah, harus siap dengan segala yang ada pada pasangan kita. Misalnya kepribadian sesungguhnya. Dulu saat pacaran atau berhubungan, belum terlalu terlihat kepribadian sesungguhnya. Begitu menikah? Ingusannya, berantakannya, makannya ternyata ngecap atau bunyi-bunyi, plek langsung terlihat. Mau marah-marah? Inget ya, pasanganmu seperti itu sampai seumurnya menikah dan keluarganya nggak mempermasalahkan.
Nggak suka? Bukankah saat sebelum menikah mengatakan akan menerima pasangan apa adanya? Nikmatilah.
Mau mengubah, ya boleh-boleh saja, asal pelan-pelan, jangan drastis. Bisa-bisa, tiap hari bakal terjadi perang Bratayudha.
Menikah untuk meraih kebahagiaan?
Ya kali, kalau definisi kebahagiaannya adalah punya pasangan dan punya anak, sementara kebutuhan hidupnya, nafkah lahirnya ya gitu deh. Eh, daku percaya ya, setiap orang punya rezeki masing-masing yang sudah tertuliskan. Tapi kan rezeki itu mesti dijemput, nggak begitu saja ujug-ujug datang, kecuali memang dari keturunan keluarga kaya raya, yang sampai ratusan turunan nggak habis-habis dimakan rayap.
Bahagia itu nggak hanya bathin, tetapi juga lahirnya, raganya, keinginan-keinginannya. Sebelum menikah, merasa bahagia, bebas tanpa hambatan. Setelah menikah, meski terikat tetaplah harus merasa bahagia. Benar-benar bahagia lho, bukan pura-pura bahagia. Terutama perempuan nih, yang dalam urusan bahagia itu, hatinya yang paling terasa.
Buat laki-laki nih, jangan salah ya, orangtua perempuan, mengizinkan kalian menikahi anaknya untuk bahagia lahir dan bathin. Saat ijab, si Bapak ikhlas menyerahkan anak perempuannya, untuk hidup bersama tanpa tersakiti. Kalau menikah, trus hidupnya susah, nggak bahagia lahir dan bathin, ya jangan kesal atau pun marah, kalau anak perempuan itu minta, “pulangkan saja aku ke rumah orangtuaku.”
Duh panjang amat ya sessi curhat menikah bukan prestasi ini. Udah menikah kok nyaranin orang nggak nikah sih? Nggak, daku bukan nyaranin nggak nikah, tapi menikahlah kalau memang sudah yakin seyakin yakinnya untuk menjalani pernikahan dengan bahagia.
Aku nikah usia 27, suami 28 dan kami nikah karena udah siap lahir batin. Semua diurus sendiri krn gak mau ngerepotin orang tua. Biaya kami tanggung bareng. Alhamdulillah sengsara di awal jadi manis kemudian. Nikah usia 27 dulu dianggap udah matang ya mba, mangga kaliii, hihii.. Tapi sampe hari ini kami merasa kayak pacaran, mungkin karena anak2 udah besar semua. Hubungan kami juga campur aduk, kayak sahabat, adik kakak, orang paling dekat yang bisa dititipkan masing-masing
Nderek sungkem kagem Inna dan Amma 🙂
Setuju bunda,.. Menkah itu adalah takdir, jika disegerakan itu adalah pilihan terbaik memurut Allah, bila tidak, juga pasti ada hikmahnya…
Makpuh, bacanya konsentrasi banget nih wkwkwkk…
Btw, curcol dulu lah, ada lho yang sampai nanya “Kamu ga trauma sama pernihakan kan (gegera ortu pisah ?”
Disangkain dia gie belum nikah karena itu, padahal lebih kepada gie emang (mungkin) belum siap lahir dan batin.
Pernah 2x pacaran dan rencana nikah, tapi memang belum jodoh sampai akhirnya pelan tapi pasti gie mengubah pandangan dan pola pikir.
Allah itu maha baik, semua pasti terjadi…entah kematian entah jodoh duluan yang menjemput (tersadar karena ternyata sahabat gie yg masih sangat muda meninggal dalam waktu yang cepat).
Sekarang sedikit lebih enjoy, walau emak malahan yang udah “panik” anaknya belum nikah XD
Karena buat gie, nikah itu ibadah seumur hidup makanya kudu persiapan matang dan memilih calon (serta keluarganya) karena kelak dia akan jadi pemimpin.
*sekalinya komen udah kayak cerpen aja 😀
Setelah baca isi tulisan mba Indah dan komentar netijennya, aku pun mengambil kesimpulan teryata pertanyaan ” kapan menikah ” ini bukan saja ditanyakan ke anak usia 23an ke atas haha. Tapi kadang pun aku suka dongkol sih kalo uda kebangetan, mulai dari bilang ” jangan keenakan sekolah sampe lupa separuh agama” dll.
Hihihihi, ya begitulah pernak pernik hidup, banyak orang yang kepo
Saya dong 40 tahun masih selow….kalo ada yang nanya soal “kapan” teutep aja pasang muka lempeng. Cuek sajalah, tokh kalo masanya akan tiba, semua akan dijalani saja….
Arghhhh kangen mba inJul dan kangen Jogja
Ayo ke Yogyakarta lagi, ke Kalibiru, mumpung daku juga selow nih 🙂
Makpuh, aku jadi keinget kakak aku yg pertama laki2 sendirian. Beliau dilangkahi oleh semua adiknya yg perempuan
sekarang masih sendiri ya karena ada triggernya juga dari bapakku. Aku klo inget dia aku sedih, kasian usia segitu masih sendiri tapi nggak bisa maksa takdir TT.. walau dia lelaki, berhak bahagia juga nggak usah nunggu mapan yang seperti bapak mau (aku jadi nangis nulisnya)
Iya menikah bukan prestasi..aku setuju. Makpuh semoga bahagia selalu ya 🙂
Di tiap keluarga sepertinya ada saja ya yang menjadi panutan. Aamiin, semoga Uci juga bahagia selalu ya.
Suka membacanya. Menikahlah karena sudah menikah. Suka juga waktu tertulis tentang adik-adik Bunda; ada yang menikah sepuluh tahun belum dikaruniai anak, ada yang sudah punya tiga anak, dan lain sebagainya. Bagi kami … eh … bagi saya yang belum menikah padahal udah senja usia ini, membaa pos Bunda membikin saya semakin mantab menjawab semua pertanyaan orang-orang tentang kapan menikah? Dulu saya jawab; Insha Allah kalau Allah sudah ijinkan. Tapi sekarang bakal nambah: kalau Allah sudah ijinkan dan kalau sayanya sudah siap (dianya juga dooonk :p)
Setujuuuu, menikahlah kalau dirimu sudah siap lahir dan batin, dan bukan karena terpaksa menikah.
Aku pernah nulis begini mbak di blog *toss* tapi bagiku menikah itu prestasi. Prestasi pribadi bahwa aku berhasil settle down dan komit hahahaha. Mungkin bagi orang lain beda, ya gpp. Kita bukan buku bimbel wakakakak.
Tapi aku setuju bagian menikah itu bukan perlombaan. You get married when you are ready. Ga dapet penghargaan juga sih kalau kita nikah cepet cepet atau punya anak cepet cepet. Yang ada ya segudang tanggung jawab hihi.
Nah bener, ada tanggungjawab yang menyertai pernikahan itu 🙂
Aku terbatuk-batuk membaca ini, duh kalo menikah prestasi maka aku tidak berprestasi hahahaha. Aku sih santai mbak, menikmati jatuh bangun, patah hati dan bangkit lagi. Aku nggak takut nikah kok, bakal siap saat bertemu orang yang tepat
Hihihihi, minum dong kalau batuk. Santai, orang tepat itu akan datang pada waktunya kalau Tuhan mengizinkan 🙂
Iya..bener banget mb .. karena setelah menikah itu, banyak banget tanggung jawab/kewajiban2 baru..yang kadang nggak sempat terpikirkan semasa lajang. Opsi menikah/nggak ini sama kayak punya anak apa nggak… Soalnya ada juga tmn aku yang lebih milih nggak punya anak pasca nikah
menikah bukan prestasi, apalagi kalau nikah berkali-kali *terngakak*
Menikah bukan prestasi, apalagi kalau nikah berkali-kali. *terngakak*
Menyimak. Makasih tulisannya. Agak ga sanggup komen sebenernya. Masih terasa perih… Menikah = menyiapkan diri mendapat titipan berharga. Dan… ternyata aku gagal menjaganya 🙁
But i enjoy read your articles as always, Mak Indah. Thankyouuu.
Usia aku 31th belum menikah. Bukan gak mau atau gak ada yang mau tapi lebih tepatnya ada yang harus aku selesaikan dengan diriku sendiri.
Pacaran LDR 7th tak begitu terlihat orang pastinya akan ada omongan kanan kiri. Tapi masak iya aku mau ladeni orang2 yang gak bahagia dengan dirinya sendiri sampai sempet2nya ngomongin orang mulu ?
Sepertinya Hukum Aku Menikah masih Makruh, jadi santai aja ya…tinggal ngopi sik
Bagus sekali tulisan ini, Mak. Aku sebagai yang pernah menikah muda kemudian bercerai, butuh waktu menahun untuk menyembuhkan luka dan trauma dan enam tahun untuk berpikir menikah lagi itu tidak mengapa.
Menikah itu bukan solusi dan prestasi. Menikah itu ibadah. Sesuatu yang harus dijalankan, diperjuangkan, dan proses hidup yang biasa-biasa saja. Hehe.
duh, mbak dulu sebelum saya nikah suka iri sama teman-teman yang nikah duluan. setelah nikah barulah saya sadar besarnya kesabaran yang harus dilewati dalam menjalani pernikahan itu. sampai mikir, kenapa yang gembar-gembor takut nikah dan komitmen cuma laki-laki, ya? padahal perempuan juga banyak mengalami perubahan setelah menikah. harusnya perempuan juga banyak mikir dulu sebelum nikah. hihi
Sejujurnya aku males sih mak kalau ngomongin soal pernikahan hahaha.
Bukan. Bukan karena sering dikejar pertanyaan kapan nikah. Alhamdulillah di rumah nggak ada tuh pertanyaan macam itu. Bahkan kakak yang 2 tahun lebih tua masih belum nikah dan kayaknya nggak kepikiran nikah. Kepikirannya duit mulu. Hahaha.
Ya tapi terlepas dari itu, pasti orang tua menginginkan anak-anaknya menikah. Mungkin tidak disampaikan secara langsung, tapi bisa lewat doa-doa mereka selepas salat.
Anehnya, ketika orang tua mengingatkan secara halus lewat doa-doa, justru orang lain yang rempong :))
Hahaha ikutan ngakak yg komen seperti buku bimbel, tapi ku setuju sama dia 😀
Aku juga sempet males nikah mba, karena aku liat orang tua yg pisah dan sempet pacaran 9thn tp ga jodoh dan putus, jadi males ah nikah.. nyape2in diri aja hahahaha, kalau pun mau nikah umur 30-an pas aku udah puas ngapa2in dan belanja buat diri sendiri tanpa berbagi buat suami or orang lain. Tapi ternyata takdirnya aku nikah umur 29, nyokap dah bahagia aja hahahaha soalnya bentar lagi injuri time katanya (umur 30 hahaha).
Aku akhirnya nikah umur 29 karena aku ngerasa dapetin calon yang cocok & aku siap, siap berbagi sama orang itu, siap jatuh bangun (karena mas firsan pas nikah katanya ‘cuma’ dosen), udah bosen main2 or dugem dan siap berusaha biar pernikahan aku ngga kayak nyokap-bokap 😀
Fenomena nikah muda sekarang emang ada sisi positif & negatifnya, pernah aku tanya sama simas kl anak2 mau nikah muda gimana? Jawabnya boleh aja asal mereka & calonnya udah siap lahir bathin. Menikah itu ngga mudah, tapi kalau udah siap dan dapeting pasangan yg selevel visi, misi utk mengejar dunia & akhirat insha Allah dimudahkan.
Yaelaaah ini komen panjang amaaaaaaaaaaath hahahhahhaha
Yaaayyy akhirnya aku mampir kesini lagi. Udah lama ga mampir nih.
Baca dr awal sampe akhir aku sepakat bgt deh, nikah memang bukan prestasi. Aku nikah cukup muda, 24klo ga salah mbak. It’s been quite a journey mbak. Banyak susahnya tapu banyak juga senengnya. Dari yg idealis lama2 belajar utk memahami, utk mengerti, utk saling ikhlas. Pokoknya bener bgt kalo nikah itu adalah sekolah sepanjang masa seperti halnya jadi ibu
Bacanya banyak poin yg bikin senyum2, terlebih bagian buku bimbelnya. wkwkwkwk. Menikah dan paket universitas kehidupan itu yg komplit, banyak celah bahagianya. Karena celah, makanya kudu pinter2 ditemukan di antara 2 insan yg berbeda dan bertemu setelah dewasa. ^_^ Langgeng pernikahannya ya kak indah, samara membersamai. Aaamiin.
Hae mba injul?
*dadah dadah
Yang belum menikah cukup memantau komentar di tulisan saja. Mau ikutan komentar pengalaman menikah, tapi belum pernah menikah *eh
Kamu Sudah Wajib hukumnya bikah bro…hahaha
nek aku isih makruh ????
Pertanyaan dari orang-orang yang sudah menikah yang sulit dijawab adalah “kapan nikah?” “nunggu apa lagi?” “terlalu milih-milih ya”
pertanyaan yang menyakitkan, karena merasa di hakimi sebagai seseorang yang….ah biarlah
Kapan nikah, kapan punya anak, beneran sama dengan pertanyaan kapan mati? ..hhaha
Semuanya Tuhan menentukan…gak bisa berbangga-bangga atau merasa berprestasi karena sudah nikah, sudah punya anak banyak..
Jalan Hidup Tuhan yang menentukan..kita hanya bisa berencana..
Setuju mbaaaaak!
Aku udah nikah 15 tahun dan kerasaaa banget perjuangannya hahaha.
Kalo dulu : I love you
Sekarang : I’ll tolerate you
Hai, Mbak Indah…
Terima kasih sudah menulis ini. Sebagai jomblo moderat, seperti terwakili. Halagh hehehehhe
Stigma yang terbentuk di masyarakat selama ini, lahir, membesar, menikah dan punya anak lagi. Sama, dan sepertinya harus semua.
Dulu, betapa pandangan perawan tua itu begitu negatif. Padahal, penyebutan perawan tua juga label yang mengerikan. Pemarah dan seumpamanya.
Budhe saya menikah waktu saya masih kecil, enam tahun seingat saya. Jadi beliau dilangkahi dua adiknya. Label buruk dan slentingan kalimat nggak enak itu kerap terdengar. Trus, pas budhe nikah, aku mikir gini, “Andai dewasa nanti aku telat menikah, aku nggak mau dapat stigma buruk begitu. Aku harus punya kesibukan sendiri.”
Nah,sekarang sering ditanya teman,” Kok kamu bisa selow begitu belum nikah? Padahal sudah tua? ” nggak segitunya sih, nanyanya. Tapi kesimpulannua begitu. Hahahahaha
Lah, preparenya dari usia enam tahun ????????.
Ini komen terpanjang sepanjang sejarah. Kayaknya, abis ini kudu rajin ngeblog lagi.
Jadi inget kata-katanya Miss Nidy aku mbak, ketika ada pernyataan: nikah muda biar jarak sama anaknya nggak jauh-jauh amat. Terus dia ngejawab: “iya kalau dikasih umur panjang”.
Lha manusia kan hanya bisa berencana, a, b, c, yang ideal-ideal. Kenyataannya ya Tuhan yang menjawab. Tentang waktu yang tepat, tentang apa pun yang terbaik untuk hambanya. Terus nitijen yang nyinyirin. Ahaha. Heran juga, gimana kalau ada gerakan stop ngurusin urusan orang. Apalagi yang menyangkut hal-hal sangat pribadi lho. Kadang tuh, yang bener-bener perduli dan ingin kepo aja beda-beda tivis. :p
Aku aja nikah dari umur satu minggu udah ditanyain aja: “udah isi belum?”
Saya dulu LDR 7 tahun, LDM 3,5 tahun (antara 2 negara) baik2 saja, mau berantem sayang pulsanya mahal, belum pakai internet.
Begitu hidup bersama di awal2 hampir tiap hari perang beratayuda karena baru kelihatan kekurangan2nya. Tapi lama2 ya bisa menerimanya. Alhamdulillah sekarang sudah 10 tahun dan punya 2 anak, sudah masuk usia cantik tapi anak masih kicik2 mak. ?
Setuju, Kak. Nikah bukan prestasi apalagi perlombaan. Aku nikah usia 27 dan suami 29. Waktu itu sama-sama karena merasa udah siap lahir batin untuk berkomitmen seumur hidup. Siap juga untuk diribetkan sama urusan RT yang kompleks dan penuh warna. Sampai hari ini aku ngga pernah nyesal nikah di usia segitu, karena betul seperti Kak Indah bilang… aku udah selesai dengan urusan dan problem diri sendiri. Jadi memilih nikah bukan untuk menyelesaikan sesuatu lagi, tapi murni karena ingin membangun dan memulai hidup baru. Nikah emang ribet ya, Kak. Hahahaha. Tapi Alhamdulillah bisa melaluinya sampai menjelang tahun ke-18 pernikahan. Bahagia dan langgeng buat pernikahan Kakak❤.
Tahun 1999 aku belum sunat haha
Wooooooi, fokus fokus, ini tentang pernikahan, bukan persunatan :p
Mbak, itu yang foto Kayla pake baju putih kok malah kaya Mb Carra sih? ahahahaha.
Yap sepakaaaat! Menikah bukan tentang perlombaan dan prestasi. Menikahlah ketika kamu sudah selesai dengan dirimu sendiri dan ketika kamu sudah siap. Pernikahan itu perjuangan seumur hidup jeeee.
Hahahaha, ku baru ngeh juga, benar mirip Carra.
Menikah perjuangan seumur hidup, yang nggak bisa diabaikan 🙂