Kini, dering telepon bagaikan lonceng surgawi yang membahana di dada.
Tak ada lagi yang malas mengangkat, semua berlomba untuk menjadi pendengar pertama.
Suara di ujung telepon laksana guyuran hujan yang membasahi tanah kering.
Baru tiga hari memang, namun kerinduan akan dirinya tak terlukiskan dengan gambaran indah sang maestro, atau rangkaian kata-kata indah sang penyair.
“Kok serak suaramu?”
Khawatir kesehatannya menurun.
“Iya nih, kebanyakan ketawa ngakak sama teman-teman.”
Ah, ternyata begitu.
“Pasti seru ya sampai ketawa ngakak gitu.”
“Iyalah, mereka cerita yang seru-seru, jadi kita ketawa-ketawa gitu deh.”
Antusiasnya saat bercerita menandakan senangnya akan rumah keduanya, pondokannya. PPMI Assalaam. Alhamdulillah. Butir airmata jatuh di pipi, namun bibir ini tersenyum bahagia.
“Ina, kapan ke sini?” tanyanya usai bercerita tentang masa orientasi santri baru.
“Kamu kangen sama Ina?”
“Iyalah, tapi yang penting kalau Ina ke sini bawain aku selimut ya, dingin banget kalau malam. Sama dingklik, bangku kecil buat duduk kalau aku nyuci sendiri.”
Hahaha, ternyata ada yang lebih penting selain rasa kangen itu. Padahal, hati ini sudah berbunga-bunga berharap kerinduannya berjuta rasa.
“Satu lagi, Na. Beliin aku sabun batangan buat nyuci ya,” pintanya saat menjelaskan kegiatan barunya, mencuci pakaiannya sendiri, meski ada laundry di lingkungan pesantren.
“Kamu kalau capek, kasih aja bajunya ke laundry, kan Ina sudah setuju berlangganan.” Naluri orangtua untuk menyenangkan anaknya berkobar.
“Di sini pada nyuci baru sendiri, enak nyuci ramai-ramai. Tapi nanti kalau aku nggak kuat nyuci baju seragam, kukasih ke laundry deh,” katanya berusaha menyenangkan hati orang yang melahirkannya.
Betapa cepat waktu membuatnya menjadi anak yang mandiri. Anak yang penuh perhatian, anaknya pengertian.
Ah, betapa ingin rasanya memeluk erat, membelai rambutnya, mencium pipinya bertubi-tubi, hal yang dulu tak berapa sering dilakukan lagi sejak dirimu merasa dewasa.
Ikhlas, adalah kata sakti manakala sisi egois kita sebagai orangtua teruji saat anak sulung yang baru berangkat remaja memutuskan untuk hidup terpisah dari orangtuanya.
Apalagi yang bisa orangtua lakukan selain ikhlas menerima keputusan anaknya?!
Dengan rasa ikhlas, kita antarkan anak meraih impiannya melalui pilihannya sendiri.
Tak ada orangtua atau ibu yang melahirkan sekalipun, yang tak memperhatikan anaknya, yang tak menyayangi anaknya.
Bukan karena tidak memperhatikan atau menyayangi dengan menyekolahkan atau memasukkan anaknya ke pondok pesantren.
Di mana pun ia menuntut ilmu, selama ia yang menjalaninya dengan senang dan tanpa paksaan, semoga akan menjadi kebanggaan orangtuanya. Ini doa untukmu, nak!
wahh sudah mandiri. keren 😀
thanks, Om Brad 🙂
Ya ampun dari kemarin mencari kolom komentar, ternyata pindah ke samping.
Tapi benar ya Kak, di mana pun sekolah kalau anak senang tidak jadi masalah, yang penting dia happy.
Kirimkan lotion juga lho kak, biar tangannya tetap lembut habis nyuci sendiri.
Hihihi, template barunya bikin bingung ya 🙂
Iya, Zee, karena itu aku berusaha biar anak yang milih sekolahnya sendiri, kita hanya mengarahkan.
Amin. Doa yg tulus insya Allah dijabah-Nya Mbak. selamat untuk si buah hati yg sdh berani hidup sendiri
Thanks ya Evi.
Di SD Thariq Pondok Hijau. Pascal di Pondok Hijau kan sekolahnya.
iya betul mbak pascal sekolahnya di thariq pondok hijau, kelas 1 A
salut deh sama orang tua yang bisa melepas pergi anaknya ke pesantren, ajari aku ya mbak
Aamiin, terima kasih ya Lidya.
Insya Allah, kamu juga akan kuat, selama kita berniat pasti bisa 🙂
mbak Indah temanya di SD thariq pondok hijau atau jati mulya? di pondok hijau ada juga loh guru yangsudah menerbitkan bukunya. namanya aku lupa hehehe nanti aku tanyakan dulu ya