Jakarta, Sorga Neraka Dunia

Itulah salah satu lirik dari Lenggang Lenggok Jakarta, yang setahu gue dipopulerin sama penyanyi cantik yang mendapat julukan “Mutiara dari Selatan”, Andi Meriem Matalatta.

Di ulang tahunnya yang 480 tahun, Jakarta memang sudah tua sekali, makanya itu makin macet, makin ruwet, makin banyak bangunan tinggi pencakar langit, yang jelas penduduknya makin bertambah aja.

Bagi gw yang dari umur satu tahun tinggal di Jakarta (lahir di Medan, trus langsung dibawa merantau ke Jakarta sama Nyokap Bokap…he…he..), perkembangan Jakarta itu, bisa dibilang dalam hitungan detik. Gw yang sejak tahun 2001 tinggal di Bekasi Utara (perbatasan Jakarta dan Bekasi, makanya jangan salah kalau gw masih tetap merasa orang Jakarta), suka terheran-heran dan takjud, karena setiap berkunjung kerumah Mama di Daan Mogot, sepanjang perjalanan pasti ada pembangunan. Entah itu pembangunan gedung untuk perkantoran atau mall.

Menurut gw, perkembangan Jakarta yang paling gila-gilaan tuh dimulai dari tahun 1990. Gimana ngak, dulu sekitar tahun 85-an aja, seinget gw, ngak ada tuh yang namanya Citraland Mall, Taman Anggrek Mall, Senayan, Plaza Indonesia, dan mall-mall prestisius lainnya.

Gw yang sejak kecil tinggal di wilayah Jakarta Barat ( pertama tinggal di Tomang, trus pindah ke Tanjung Duren, dari tahun 1986 sampai sekarang tinggal di Jalan Damai, Daan Mogot), dulu cuma kenal yang namanya pasar bukan mall. Pasar Grogol, Pasar Kopro, Pasar Blok M, Pasar Senen, Pasar Pagi Mangga Dua, dan Pasar Tanah Abang. Gw paling sering diajak Mama ke Pasar Senen, karena disana ada tempat permainan anak-anak yang namanya Istana (Dunia) Bobo. Ada yang masih inget ngak ?

Pasar Tanah Abang tuh ngak seperti sekarang. Dulu tuh morat-marit. Kalau belanja hari Sabtu atau di bulan puasa, bokong sama bokong (maaf yah) bisa ketemu. Mangga Dua apalagi. Dua pasar yang memang sudah terkenal murah sejak dulu itu, selalu jadi inceran kalangan menengah keatas dan juga yang berduit. Cuma Mangga Dua tuh belum ada ITCnya. Karena tempatnya di perbatasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara, orang cenderung malas kesana kalau ngak ramai-ramai. Atau untuk kepentingan dagang.

Oh yah, Mangga Dua itu kan deket sama Mangga Besar, yang dari dulu memang terkenal sebagai tempat prostitusi selain Kramat Tunggak dan Kali Jodoh. Di Mabes juga paling banyak diskotik dan tempat judinya. Bisa dibilang tuh daerah, nerakanya Jakarta. Mungkin karena itu kali yah, Mabes tuh dari jaman dulu sampai sekarang tempatnya kumuh.

Makanan cepat saji aja, yang terkenal cuma Kentucky Fried Chicken (KFC), yang biasanya satu lokasi sama tempat jualan es krim Swensen. Ini dulu tempatnya di Gelael, Slipi (sekarang jadi Hotel Peninsula) dan Pasar Blok M. Kalau dah jajan disini, serasa orang kaya 🙂

Oh ya, dulu gw suka mainnya ke Jakarta Selatan dan Pusat, karena Jakarta Timur dan Utara itu, serasa tempat jin buang anak. Daerahnya serem dan menurut orang-orang, katanya kumuh. Sorry nih buat anak-anak Jakarta Timur dan Utara 😀

Dulu tuh alat transportasi cuma oplet, bemo, helicak, becak, bus PPD, sama bajaj. Mobil belum banyak, apalagi motor. Bayangin aja, dari rumah di Tanjung Duren main ke Roxy, jalan kaki masih enak. Kalau punya duit yah naik becak, padahal jaraknya tuh 1 KM.

Kalau mau nonton film, untuk orang Jakarta Barat bioskopnya tuh paling bagus yah Bioskop Roxy, juga Musiana. Kalau mau nonton film India dan film Barat, silahkan berkunjung ke daerah Jakarta Pusat, disana banyak bioskop. Sebut saja Bioskop Megaria, Duta dan Grand (didaerah Senen), sama yang terkenal bioskop Indianya Rivoli. Mau mahalan dikit yah nonton di Jakarta Theatre.

Sekitar tahun 86-87 keatas, baru deh gw ngerasa ada mall. Yaitu di Slipi Jaya dan Blok M Mall. Nah berbarengan dengan itu, mulai ada deh bioskop 21. Mulai deh sering main-main kesana. Mulai kenal juga tempat gaul yang namanya Apotik Karya (tempat kumpul anak-anak Jakarta Selatan yang borju). Universitas Trisakti dan Tarumanegara tuh ngak sebagus sekarang. Pokoknya sampai tahun 1994, Slipi Jaya dan Blok M Mall, tempat main yang paling sering dikunjungi. Oh ya, ada deh Sarinah, tapi karena tempatnya ngak begitu luas, jadi suka males aja kesanan.

Kalau liburan sekolah, ke Ancol cuma mau lihat pentas lumba-lumba sama singa laut, karena Dufan belum ada. Ke Taman Mini, cuma buat santai, naik kereta api mini dan kereta gantung. Biar miskin tempat wisata seperti itu, tapi udara Jakarta masih enak, makanya sering jalan-jalan ke Taman Suropati dan danau di Jalan Lembang.

Begitu tahun 90-an, pelan tapi pasti, Jakarta udah mulai terasa sumpek. Mulai banyak mobil, motor, bus mulai banyak macemnya, becak tergusur, oplet apa lagi udah ngak ada. Semakin banyak mall, semakin banyak penduduknya. Walikota Jakarta Barat aja yang tadinya di Jalan S. Parman, pindah kedaerah Kembangan, jadi bikin sulit terjangkau. Kecuali untuk orang Kedoya, Cengkareng, dan sekitarnya.

Kadang-kadang gw suka terpikir, betapa enaknya Jakarta yang dulu. Tapi gw berkembang kok, dari yang tadinya cuma anak-anak, eh sekarang punya anak. Jadi wajar tho, kalau Jakarta juga membangun dirinya. Mungkin kali yang diperlukan ditingkatkan atau digali lagi adalah prilakunya. Misalnya budaya antrinya semakin digalakkan, gotong royongnya (orang Jakarta semakin sibuk cari duit, jadi sebagian orang udah ngak kenal tetangganya termasuk gw, yang ngak kenal lagi dengan tetangga2 ditempat tinggal ortu) dan menghargai sejarah karena sejarah adalah bagian dari perjalanan manusia. Jangan sejarah malah diluluhlantakan seperti bangunan-bangunan bersejarah yang dijadiin mall, sayangkan ?

2 Comments

  1. madi September 9, 2012
  2. icha February 23, 2008

Leave a Reply