Ruang bersalin Rumah Sakit Budi Kemuliaan, Jakarta, Sabtu, 18 Desember 2004, pukul 14.00.
“Demi keselamatan si jabang bayi, ibu harus segera dioperasi”, kata seorang pria berbaju putih kepada seorang wanita yang tengah berbaring didipan rumah sakit, sambil menahan sakit di perutnya.
“Operasi dok. Apa ngak ada jalan lain,” kata wanita itu sambil memegang tangan ibunya yang ikut menungguinya.
“Bayi Ibu bisa keracunan air ketuban. Kalau sudah begitu, saya ngak mau bertanggung jawab, bayi Ibu selamat atau tidak. Air ketuban Ibu sudah hampir habis. Ibu terlambat datgang kesini. Tidak ada jalan lain, ruang operasi sudah disiapkan. Surat persetujuan operasi sudah ditandatangani,” kata dokter itu tegas.
Wanita itu terhenyak mendengar penjelasan dokter Dodi. Tiba-tiba dia menangis mengingat keegoisan yang baru dilakukannya tadi. Ia memang sangat takut terhadap hal-hal yang berbau operasi. Diotaknya yang terbersit setiap mendengar kata operasi, pastilah kematian. Maka tak heran, saat melakukan operasi kecil seperti operasi pengangkatan kuku jempol yang terkelupas dan tanpa bius total saja, dia sudah merasa mau mati dan minta maaf kepada orang tuanya atas segala dosa-dosanya.
“Maafkan Ibu nak. Kalau saja Ibu cepat datang kesini, kerumah sakit tempat kamu biasa diperiksa, dan tidak bertahan dengan pendapat suster di Bidan Rustini, mungkin kamu tidak akan keracunan. Mungkin kamu sudah lahir dari tadi,” kata wanita itu sambil menangis tertahan.
Pukul 14.20. Ruang Operasi.
“Selamat siang Ibu Indah. Kita ketemu lagi,” kata dokter Dodi, yang akan melakukan proses operasi.
“Ini dokter Gilang, dokter anak. Kita masih menunggu seorang dokter, bidan dan perawat, yang akan membantu proses operasi”.
Indah tidak terlalu memperhatikan lagi apa yang dikatakan dokter itu. Ia sibuk dengan pikirannya sendiri dan ingin segera operasi itu dijalankan. Bukan karena ketakutannya akan operasi, tapi demi keselamatan nyawa anaknya.
Tak lama dokter, bidan dan perawat yang ditunggu datang. Setelah beres, proses operasi pun dilangsungkan. Pertama, Indah mendapat suntikan di punggung, kaki, tangan, dan didekat jalan lahir. Tak terlalu banyak yang diingatnya, kecuali seorang dokter yang sibuk mengajaknya berbicara, agar dirinya tetap sadar.
“Ibu Indah selamat yah. Anaknya perempuan. Lengkap dan sempurna,” kata seorang dokter yang mulut dan hidungnya tertutup.
Dokter itu kemudian meletakkan sang bayi merah itu dipelukannya Ibunya untuk beberapa detik, kemudian diambil untuk dibersihkan. Saat sang bayi perempuan itu berada dipelukannya, Indah merasakan syukur yang tiada tara. “Terima kasih ya Allah, engkau telah mempercayakan aku lagi dengan seorang anak perempuan”.
Bayi merah yang terlahir berambut keriting dan bermata sipit itu, diberi nama oleh Ompung Doli dan Mbah Kungnya : Tiurma Kayla Puspitarani. Tiurma dari bahasa Batak yang berarti bersinar terang, karena lahir saat matahari tengah bersinar terang (pukul 14.50), Kayla diberikan Ayah Ibu yang berarti mahkota, sedangkan Puspitarani diberi oleh Mbah Kung yang namanya nyaris sama dengan Kak Lily yaitu Puspitasari, yang berarti bunga atau taman bunga. Jadi bayi itu diharapkan seperti mahkota bunga yang bersinar terang.
“De, ngak boleh naik-naik kursi belajar kakak yah, nanti jatuh,” kata seorang wanita kepada seorang anak yang sedang lincah-lincahnya.
“Apa lo,” kata anak perempuan kecil itu.
“Cantik lo,” wanita itu balas menjawab.
“Punya tu,” kembali anak perempuan itu berkata sambil berusaha menggapai buku yang ada di meja belajar yang tengah dirapikan Ibunya.
“Tapi ngak boleh disobek yah”.
“Punya tu. Buku tu,” jawab si anak sambil memonyongkan mulutnya membentuk huruf u.
“Punya ade nana. Punya ade nana…” kata anak perempuan yang meski sudah lancar berbicara namun masih cadel disana sini.
Perempuan itu tampak tersenyum bahagia. Anak dua tahun lalu dilahirkannya, tumbuh menjadi anak yang sehat dan sedang dalam masa perkembangan dengan semakin banyak pengetahuan yang diperolehnya. Dua tahun, tak terasa sudah usianya kini. Satu harapannya semoga anaknya menjadi anak yang sholehah, sehat selalu, dan menjadi anak kebanggaan orang tua dan keluarga.(Teruntuk de Kayla, di ulang tahunnya yang kedua, 18 Desember 2006)