Tanya Sang Anak
(Kahlil Gibran)
***
Konon pada suatu desa terpencil, terdapat sebuah keluarga. Terdiri dari sang ayah dan ibu, serta seorang anak gadis muda dan naif!
Pada suatu hari sang anak bertanya pada sang ibu!
Ibu! Mengapa aku dilahirkan wanita?
Sang ibu menjawab,”Kern ibu lebih kuat dari ayah!”
Sang anak terdiam dan berkata,”Kenapa jadi begitu?”
Sang anak pun bertanya kepada sang ayah!
Ayah! Kenapa ibu lebih kuat dari ayah?
Ayah pun menjawab,”Kerana ibumu seorang wanita!!!
Sang anak kembali terdiam. Dan sang anak pun kembali bertanya!
Ayah! Apakah aku lebih kuat dari ayah?
Dan sang ayah pun kembali menjawab,” Iya, kau adalah yang terkuat!”
Sang anak kembali terdiam dan sesekali mengerut dahinya. Dan dia pun kembali melontarkan pertanyaan yang lain.
Ayah! Apakah aku lebih kuat dari ibu?
Ayah kembali menjawab,”Iya kaulah yang terhebat dan terkuat!”
“Kenapa ayah, kenapa aku yang terkuat?” Sang anak pun kembali melontarkan pertanyaan.
Sang ayah pun menjawab dengan perlahan dan penuh kelembutan. “Kerana engkau adalah buah dari cintanya!
Cinta yang dapat membuat semua manusia tertunduk dan terdiam. Cinta yang dapat membuat semua manusia buta, tuli serta bisu!
Dan kau adalah segalanya buat kami. Kebahagiaanmu adalah kebahagiaan kami.
Tawamu adalah tawa kami. Tangismu adalah air mata kami. Dan cintamu adalah cinta kami.
Dan sang anak pun kembali bertanya!
Apa itu Cinta, Ayah?
Apa itu cinta, Ibu?
Sang ayah dan ibu pun tersenyum!
Dan mereka pun menjawab,”Kau, kau adalah cinta kami sayang..”
***
Saya teringat dengan puisi Khalil Gibran itu ketika usai sessi cerita tentang anak via DM dengan Sahabat Penulis yang juga blogger, Syl.
Syl yang baru saja memasukkan anak perempuannya yang nomor dua ke Pondok Pesantren di Parung, Bogor, Jawa Barat, bertanya tentang kabar Taruli, putri sulung saya yang juga bersekolah di Pondok Pesantren Assalaam, Sukoharjo, Surakarta.
Dari obrolan itu, saya tersadar kalau sudah 3 (tiga) tahun ini, Taruli bersekolah dan tinggal jauh, terpisah dari orangtua dan adik-adiknya. Ya, Taruli memang memutuskan untuk masuk pondok pesantren, melanjutkan Sekolah Menengah Pertama (SMP)-nya di Solo, berbeda dengan teman-teman seangkatannya.
Cerita tentang Taruli memutuskan tinggal jauh dari orangtuanya sudah sering saya ceritakan.
Kali ini, boleh dong ya, saya bercerita tentang dia dan saya, dalam kehidupan kami sehari-hari, yang bisa dibilang penuh gejolak 🙂
Kenapa penuh gejolak? Ya mungkin karena Taruli yang sekarang berusia 14 tahun adalah remaja masa kini, hidup di era digital, sementara saya, innanya adalah remaja masa lalu, yang hidup di jaman breakdance, jadi tonggak remaja gaul masa itu.
Sebenarnya, sejak tinggal dan bersekolah di Assalaam, Taruli hanya dua kali dalam setahun pulang ke rumah. Di bulan Desember, untuk libur semesteran dan di bulan Juli untuk libur kenaikan kelas. Khusus di bulan Juli, lebih panjang liburnya karena ada libur Ramadhan dan Idul Fitri.
Walau pulang ke rumah hanya 2 kali dalam setahun, tapi siapa sih orangtua yang kuat berpisah jauh dari anaknya. Apalagi ini anak perempuan, yang perasaannya peka, dan harus sering disambangi supaya nggak merasa tidak diperhatikan. Nyaris tiap bulan, atau paling lama 1,5 bulan saya dan Mas Iwan, kadang juga adik-adiknya berkunjung ke Assalaam.
Ketemu saling sayang-sayangan dong ya?! Enggak juga ternyata. Malah kadang, obrolan seru tiba-tiba menjadi pertengkaran kecil antara saya dan Taruli. Mungkin benar kata ungkapan: jauh terasa harum bunga, dekat terasa bau kotoran. Atau mungkin karena saya dan Taruli terlahir di bulan yang sama, Juli, sehingga banyak persamaan sifat, salah satunya adalah ngotot, mempertahankan keinginannya.
Misalnya nih, Taruli sering banget meminta sesuatu, saat itu juga harus dipenuhi, enggak bisa nggak. Hari ini mau, hari ini harus dapat, harus dibolehin. Sementara saya, selalu bilang ke dia, segala sesuatu itu harus direncanakan, termasuk permintaan. Kalau bisa dipenuhi sih, Alhamdullilah. Kalau enggak bisa dipenuhi, kan berabe. Masa harus memaksa untuk diada-adain. Nggak benar kan.
Hal-hal kecil seperti itu sih yang sering memicu pertengkaran. Awal-awalnya, saya juga suka ngotot mempertahankan keinginan dan memaksa dia untuk mengikuti keinginan saya. Ujung-ujungnya, dia setengah hati dan terpaksa mengikuti keinginan saya. Dan, suka ngedumel, marah-marah kalau saya tanya. Pernah juga dicap sebagai ibu egois. Shock dibilang seperti itu? Pastilah.
Dan di era digital ini, di mana kita bisa cari informasi sebanyak mungkin lewat internet, bisa ikut seminar, diskusi, talkshow, banyak buku tentang parenting, dari situ saya belajar, kalau menghadapi anak remaja itu: nggak boleh pakai ngotot, jangan terlalu memaksakan kehendak, dan paling penting sih, ya kita harus berlaku seperti pemikiran dia.
Anak remaja sekarang, kehidupannya jauh berbeda dengan kehidupan masa remaja orangtuanya. Pikiran anak remaja sekarang, jauh lebih canggih dari pemikiran di era orangtuanya jadi remaja. Anak remaja sekarang adalah anak teknologi, sementara orangtuanya adalah anak masa Orde Baru, jaman Pak Harto masih jadi presidennya.
Gap antar generasi? Pastilah ada. Tapi, seperti kata Ibu Elly Risman, anak sekarang itu pintarnya dua kali, orangtuanya harus pintar 7 kali. Jangan sampai dia mencari informasi di luar kita, orangtuanya.
Sahabat Blogger punya anak remaja? Berapa kali dalam sehari berselisih paham dengan anak? 😀
Yaelaaah mak, tiap hari ngomel2 urusan abegeh nih, apalagi abegehku 2. Kadang suka nggak ngerti mana yg ngomel marah, mana yg ngomel krn udah terlanjur kebiasaan sehari-hari. Apalagi si sulung ni yg sama kerasnya kayak aku dg tipe marah yang sama, yaitu diem. Loh?! Tapi nggak pernah lama sih marahnya. Besoknya marah lagi dengan tema yg berbeda hahahaaa
dan ibukku selama ini selalu memang sih. Dan aku masih aja kalah kalau debat sama ibukku. Maklum ibukku itu gemini, dia bisa berubah jadi super galak, dan lalu berubah jadi super baik. Dan dia nggak menyadari perubahan itu. Gemini banget! hahahahaha
Seorang Leo kayak saya, yg sangat “mendewakan” kekonsistenan, melihat sifat berubah drastis seperti itu, hanya bisa geleng-geleng *sambil muter musik dugem*
Cerita tentang ayah, ibu dan anak di atas sangat menyentuh Mbak. Sehebat-hebatnya orangtua, mereka pasti selalu menganggap anaknya jauh lebih hebat. Good sharing Mbak 🙂
Taruli modis ya, Mbak. Heheh.. Aku jugak masih sering berantem loh sama Mama ku.. 😛
Nice post mak Injul. Sharingnya bagus banget. Anak2ku sih masih kecil. Jadi kebayang besok remaja mereka.
Semakin besar anak, kita sebagai orangtua harus semakin aware, Ika.
Sekarang aja masih kecil banyak hal tak terduga, apalagi nanti remaja ya 🙂
Aku sudah membayangkan nanti anak q gede juga begini makpuh :)))
Huehehe, belum lagi Icha suka Korea ya 😀
Anakku belum remaja Mak…pengen nanti kalo sudah remaja mau masuk pesantren… Karena belum remaja…berselisih sering banget lah..mulai pagi sampe malem..seringnya masalah baju Mak..:p
Kalau anak gadis, seperti itu pastinya ya, Mbak Dian 🙂
setahun yg lalu anakku banyak banget mak,mulai playgroup sampe SMA-SMK hehehe….sempat sih berselisih paham sama anak2 SMA-K pas debat tentang materi psikologi di kelas,seru2 gimana gitu…sempat,bukan sempat tapi sering mbatin,ini anak kok pinter2 ya,beda banget sama zamanku SMA dulu di penjara suci xixixi…
salam buat taruli ya mak, ma’annajah fi ta’allum ^^
Salamnya sudah disampaikan, Tante Hanna, katanya terima kasih banyak-banyak 🙂
Heu…heu…bacanya jadi berembun teringat 0silat lidah dengan putri2 saya.
Heu…heu…bacanya jadi berembun teringat 0silat lidah dengan putri2 saya.
Pasti masalahnya nggak beda jauh ya, Mbak Ida Nur 🙂
makpuuhhh ko bacanya berasa gue bangeet :P…bener yaa perjuangan dan penuh pengorbanan, ketika anak di pesantren, aku ngerasain skr baru mau 2 bulan, kadang aku kalo nengok ke c kk rasa kangen yang menggebu tapi ketika ketemu malah ngotot2an, kadang keinginan yang blom terpenuhi…pesne ini itu yg dadakan yang kadang bikin gemeeess hihihi…tapi ya alhamdulillaaah…bisa terkendali..berpisah sementara dengan anak tuh sesuatu ya mak…
Insya Allah, dirimu kuat Meti, apalagi karena itu kemauan sih kakak 🙂
Wah… subhanallah, iya mbak, memang kekhawatiran org tua sekrang adalah menyekolahkan putrinya.. terutama saat usia pubertas seusia smp sma.. makanya, kalau di daerah saya (madura ) rata rata para remaji di pondokkan…
Kalau dengar nama assalam saya jadi inget pas silaturrahim ke sana. Pondok modern, megah dan iso internasional.. salut… ingin mondok di situ, tapi biyainya belum bisa..
Semoga suatu saat nanti dirimu bisa ke Assalam ya, Ma’ruf 🙂
amin…… hehe
Setelah menikah, gap nya semakin lebar mak, hiks
Huahahaha, mbeeeer, benar banget Fenny 🙂