Ayah ke Yogyakarta, Tulang Wahyu Jadi Penonton
Hari ini Ayah ke Yogyakarta. Tugas dari kantor sekalian melihat keadaan Mbah Putri dan keluarga besar di Yogya. Ayah baru pulang hari Jumat nanti.
Waktu tau Ayah mau ke Yogya, kak Lily sudah minta ikut aja. “Ayah aku ikut dong. Aku kan pengen lihat rumah korban gempa. Ayah ke Yogya, ke daerah bencana yah ? kata kak Lily.
Dasar anak-anak, dipikir mau piknik…he…he… Dan bisa-bisanya Lily ngomong daerah bencana, ngerti tentang bencana aja gak 😀
Nanti disana Ayah akan melihat panti asuhan-panti asuhan yang menjadi korban gempa. Selain membawa bantuan untuk anak-anak yang jadi korban gempa. Karena belum tahu pasti apa saja yang paling dibutuhkan sama korban gempa, Ayah dan Om Aris (teman kantor Ayah), akan kerjasama dengan Bude Liling, yang meski jadi korban gempa masih menyempatkan diri bersama teman-teman dari organisasinya Pakde Syafei (suaminya), menyediakan 3000 bungkus nasi plus lauknya untuk korban yang lebih menderita. Rencananya nanti Bude Liling yang mengalokasikan bantuan itu.
Oh yah, Ayah juga sudah dipesan sama Bude, kalau datang berpakaian sederhana aja jangan seperti turis, karena para korban saat ini menjadi orang yang lebih sensitif. “Mereka gak mau jadi tontonan dan sangat membutuhkan bantuan. Banyak orang yang jadi stress,” kata Bude.
Ayah juga akan melihat makam Mbah Kung di Pingit, yang sempat rusak. Sudah dibenarin sih sama Om Iyan, tapi Ayah belum puas karena khawatir kerusakannya lebih besar jika kembali terjadi musibah. (Semoga tidak, Ya Allah!).
Cerita tentang Yogya juga belum ada habisnya. Sabtu, 3 Juni kemarin, Tulang Wahyu pergi ke Yogyakarta, juga dalam rangka tugas kantor. Bagi Tulang Wahyu, kepergiannya kesana membuat perih hatinya karena “saat itu hanya bisa menjadi penonton.” Dan membuatnya kapok untuk meliput daerah-daerah bencana.
ini sedikit kutipan dari blog Tulang Wahyu :
“Saya tak kuasa menghindar hanya menjadi seorang penonton di atas sebuah kata penderitaan. Seumur-umur mungkin ini adalah liputan yang akan paling akan terus menghantui saya.
Hanya demi sebuah iklan, saya harus meliput penyerahan sumbangan yang disponsori sebuah produk makanan.
Bisa jadi, ketika menapakkan kaki di sana, saya adalah wartawan yang paling nyaman di antara teman-teman saya yang sudah ada di sana. Di dalam benak saya sudah tergambar apa yang akan saya kerjakan di sana. Begitu turun dari pesawat, saya dan kawan-kawan langsung dijemput dengan menggunakan bis dengan pendinginnya yang nyaman.
Melihat penderitaan dari sebuah aquarium kaca, tanpa berusaha untuk menyembuhkan luka yang terdalam di memori mereka.
Ketika “pesta” dimulai, saya pun langsung bekerja. Menuliskan, melaporkan dan mengabadikannya dalam sebuah halaman kertas berukuran besar. Menjadikan pesta ini jadi sebuah catatan dalam sejarah, bahwa mereka telah memberikan bantuan. Setelah acara buyar dan perhelatan usai, cukup sudah tugas saya di sana. Pulang ke Jakarta dengan menaiki burung besi dengan hati yang pasti tertinggal di sana.
Ketika semua itu akan terjadi, saya hanya bisa tertunduk sedih mengingat amanat keluarga teman saya yang meminta saya untuk mengunjungi desanya, desa Sampeng, Gunung Kidul, Wonosari. Terngiang dalam kuping saya sebuah harapan yang akan berujung sia-sia.
“Yu, sempatkan datang ke sana. Mereka sama sekali belum mendapatkan bantuan. Mudah-mudahan kamu bisa membantu mereka.” Tuhan, maafkan saya, saat ini saya hanya bisa menjadi penonton.
Bunda gak bisa ngomong apa-apa, terbayang nanti pada bulan Juli akan pulang ke Yogya, mengantar anak-anak liburan, mungkin tidak akan menemukan kembali Yogyakarta yang dulu. Gak bisa lagi jalan-jalan ke Kasongan berburu keramik, karena katanya sudah hancur. Gak bisa lagi menikmati “Mayang Tirto” di Gembira Loka, karena sudah melesak kedalam. Mungkin sudah tidak ada lagi…. “Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna.”