Banyak anak, banyak rezeki, banyak masalah? Tergantung bagaimana orang atau pelakunya (orangtua terutama) menghadapinya. Di zaman sekarang yang kompetitif, satu anak, dua, lima atau lebih, tetap harus dinafkahi kan, harus dirawat dan dibesarkan. Sedikit anak ya enggak bikin orang bisa jadi orang kaya dengan harta melimpah. Banyak anak juga enggak bikin orang jadi jatuh miskin. Banyak masalah? Ya itu sih enggak bisa dipungkiri. Hidup tanpa masalah, ibarat makan sayur tanpa garam.
Tulisan ini berawal dari twitt saya di personal account Twitter saya (@IndahJuli) di hari Selasa, tanggal 2 Juni 2020, yang berbunyi: Zaskia Mecca hamil anak ke-5. Gw, punya 3 anak, rasanya pengen tiarap tiap jam.
Ndilalah, twitt itu banyak mendapat tanggapan (reply). Mayoritas sih dari para ibu yang sudah punya anak, yang sudah merasakan jatuh bangunnya merawat dan membesarkan buah hati tercinta. Ada yang reply; “Segitu mbak Injul 3, aku saja 2 anak, pengen jedotin kepala ke tembok mulu.”
Atau reply-an lainnya ; “4 anak saja di rumah sudah seperti di terminal. Emaknya teriak-teriak terus, padahal umur anak beda jauh. Ada yang beda 3 dan 4 tahun.”
Yang saya mikir dan ingin berbagi cerita dalam blog ini selain jawaban di atas, ada jawaban Lidia tentang twitt saya itu. Lidia yang belum menikah mengatakan, dia yang belum punya anak saja, merasa pening dengan banyak anak itu. Ditambah pula, Lidia punya ketakutan untuk melahirkan karena pernah melihat video orang melahirkan pas pelajaran Biologi saat ia bersekolah SMA.
“Tapi, orang-orang seperti itu (banyak anak), pasti punya “pembokat” banyak, jadi enggak perlu mikir antar jemput semua anak sekolah, enggak mikir cucian baju yang banyak, dan lain-lainnya.”
Senada dengan Lidia, ada yang jawab; Zaskia punya 5 rewang (pengasuh) untuk 5 anaknya nanti. Zaskia mah nggak perlu mikir capek ngurusin anak karena pasti banyak yang bantu, tenaganya dibagi rata. “Paling yang dipikirin biaya hidupnya saja. Mungkin lho ya.”
Biaya hidup! Itu memang harus dipikirin ya. Mau anak satu, dua, tiga, empat atau lima, enggak bisa lepas dari biaya hidup. Biaya pendidikan anak-anak. Kalau makan sih, menurut saya, ya bisalah diatur, bisalah makan sederhana tapi sehat. Lah kalau biaya pendidikan atau sekolah, biaya kesehatan dan lainnya, walau bisa diatur, tapi tetap butuh biaya ekstra kan?
Jadi terpikir tentang mitos yang sampai sekarang masih didengungkan sebagian besar orang, banyak anak banyak rezeki. Masih relevan enggak sih zaman sekarang ini. Bukannya, banyak anak banyak datang rezekinya, banyak juga masalahnya.
Pesimis amat, Ibu Indah. Seperti enggak percaya sama kekuatan Tuhan saja. Makanya, ibadah dikuatin, karena sebagai umat Islam itu kita harus percaya, tiap orang itu sudah punya rezeki masing-masing yang digariskan sama Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Begitu pun dengan rezeki anak. Anak satu rezekinya pasti ada, anak lima pun kelimanya pasti ada rezeki masing-masing.
Harusnya, Bu Indah, dirimu bersyukur sudah dikasih/memiliki anak. Banyak calon orangtua yang masih menunggu kehadiran buah cintanya. Allah menjanjikan, bahwa setiap anak yang terlahir, akan Allah jamin rezekinya, sebagaiman firman Allah di QS. Al An’am ayat 6.
Banyak Anak Banyak Rezeki, Banyak Masalah?
Saya terlahir sebagai anak pertama dari lima bersaudara. Adik saya empat orang, dua perempuan (kami tiga bersaudara perempuan lahir berturut-turut dengan jarak dua tahun), dan dua orang laki laki-laki (anak-anak terakhir). Saya dengan dua adik laki-laki, berjarak 10 dan 11 tahun. Oh ya, Bapak dan Mama adalah orang Batak, di mana garis atau alur keturunan dari pihak ayah, sehingga memiliki anak laki-laki, bisa jadi suatu keharusan.
Orang Batak zaman dulu, katanya, sangat mementingkan memiliki anak laki-laki sebagai keberlangsungan keturunan penerus marga. Walau sebenarnya, buat Bapak almarhum, anak laki-laki dan anak perempuan sama saja, tapi kala itu, omongan saudara, nyinyiran saudara yang pedas, membuat Mama almarhumah tidak tahan, akhirnya nekat hamil di usia 38 tahun dan melahirkan anak laki-laki pertama di usia 40 tahun, anak laki-laki kedua di usia 41 tahun. Alhamdulillah.
Jadilah kami bersaudara lima orang (sekarang tinggal berempat, karena adik yang nomor dua meninggal dunia di tahun 2015). Banyak ya? Banyak banget, menurut Mama almarhumah. Makanya, kepada kami anak-anaknya, Mama tuh enggak menyarankan kami punya anak sebanyak anak beliau. “Paling banyak tiga oranglah,” kata Mama dulu.
Buat Mama dan Bapak, kasih makan lima anak itu enggak masalah, yang paling berat itu adalah biaya pendidikan anak-anak dan masalah hidup yang menyertainya. Orangtua kami berprinsip, tiap anak harus mendapatkan pendidikan yang sama, enggak boleh dibeda-bedakan. Yang paling saya ingat dari Mama dan Bapak (dan jadi patokan saya dan Mas Iwan untuk pendidikan anak-anak) perkataan mereka, “Kalau anak pertama sekolahnya di sekolah bagus, anak yang lainnya pun harus bersekolah di sekolah bagus. Janganlah dibeda-bedakan. Satu anak kuliah, yang lainnya pun harus berkuliah.”
Saya dan dua adik perempuan bersekolah dasar di sekolah swasta, yang kebetulan Mama menjadi guru di yayasan yang mengelola sekolah dasar itu (Mama mengajar di SMPnya). Tetapi dua adik laki-laki saya tidak bersekolah di tempat yang sama. Mereka bersekolah di sekolah negeri, di dekat rumah, dengan biaya sekolah yang jauh lebih murah. Kok bisa? orang tua saya menjilat ludah sendiri dong!
Alhamdulillah enggak. Karena pada saat adik-adik yang laki-laki masuk sekolah dasar, saya dan adik perempuan lainnya, sudah tidak bersekolah di sekolah itu dan Mama juga sudah dipindahkan ke sekolah SMA. Selain itu, pada saat itu sudah tidak diberlakukan lagi pembayaran setengah harga untuk anak-anak karyawan.
Begitu pun saat berkuliah, kami berlima berkuliah semua. Dua adik laki-laki malah berkuliah di perguruan tinggi negeri di luar kota (Purwokerto dan Lampung), yang mengharuskan mereka ngekost.
Masalah pendidikan terselesaikan, bagaimana dengan masalah hidup? Kata Mama, lima anak itu bikin otaknya penuh. Satu anak, satu pikiran. Lima anak, lima pikiran, lima masalahnya. Kalau masalahnya datang satu-satu, bisa satu-satu dihadapi, bagaimana lima masalah itu datang bersamaan dan beruntun? Pecas ndase, kata orang Jawa.
Oh ya, satu yang tak terlupakan dari hidup saya sebagai bagian dari keluarga yang banyak anak, adalah anak-anak yang paling besar mengasuh anak-anak yang lebih kecil. Membantu orangtua mengasuh adik sebenarnya. Apalagi ya, kedua orang tua saya bekerja. Kala itu, kami memang punya mbak yang bantu-bantu kerjaan di rumah, tapi kan enggak mungkin satu mbak ngurusin lima anak, apalagi Mama pun sibuk dari pagi sampai sore. Jadilah, saya dan adik nomor dua, ikut ngurusin adik-adik yang kecil.
Kadang bantu mandiin adik-adik. Atau saat saya makan, sambil nyuapin adik yang kecil. Paling parah nih, kalau si mbak pulang kampung, jadilah saya dan adik-adik perempuan menjadi orangtua buat adik-adik yang kecil. Kok bisa, ya kan kedua orangtua kerja dari pagi sampai sore, baru ada di rumah saat menjelag maghrib. Selama menunggu orangtua pulang, ya harus jagain adik-adik kan.
Hal-hal seperti itulah yang menurut Mama, tidak terulang saat saya dan adik-adik menjadi orangtua. Anak-anak ya punya kewajiban sebagai anak, bukan jadi orangtua buat anak yang lainnya.
Bikin Berdua, Urus Berdua!
Relevan enggak sih Banyak Anak Banyak Rezeki di masa sekarang? Menurut saya yang punya tiga anak perempuan ini, memiliki anak itu sebaiknya harus dipikirkan matang-matang antara suami dan istri. Jangan hanya memikirkan keinginan satu orang saja, karena bikinnya berdua, ya hasil dari bikin berdua itu, harus diurus bareng-bareng. Bikin berdua, urus berdua! Satu anak, urus berdua. Tiga, empat, lima, enam atau lebih, urus berdua juga. Senang bareng-bareng, susahnya bareng-bareng.
Konsep ibu ngurus anak, bapak cari nafkah itu, ya bagus. Tapi enggak bagus-bagus banget. Jangan mentang-mentang Bapak cari nafkah, trus ‘pura-pura’ lupa kalau ada anak yang butuh perhatiannya, apalagi jika Ibu sibuk ngurus anak yang lainnya. Bapak kan capek kerja seharian di kantor biar dapat penghasilan yang lumayan untuk kehidupan yang layak.
Lha, memangnya Ibu nggak capek ngurusin anak-anak biar dilihat layak dan Bapak dapat pujian dari orang lain karena anak-anaknya?
Begitu pun dengan rezeki, pendapatan atau penghasilan. Banyak anak, berarti semakin banyak kebutuhan yang harus terpenuhi. Dipikirin mateng-mateng nih untuk urusan rezeki ini. Tahu, saya tahu, kalau anak itu adalah karunia. Punya banyak anak enggak bikin kita jatuh miskin. Sekadar mengingatkan, kalau rezeki itu kan enggak ujud-ujud datang sendiri, rezeki itu harus diraih atau dicari. Banyak anak, harus banyak mencari rezeki ya kan. Aamiin.
Dan sekadar mengingatkan juga kalau anak punya hak yang wajib dipenuhi orangtuanya, di antaranya hak mendapatkan pendidikan, hak mendapatkan perlindungan, hak mendapatkan makanan, hak mendapatkan kesamaan, mendapat akses kesehatan dan juga hak mendapatkan rekreasi.
Satu hak saja anak tidak bisa dipenuhi orangtuanya, sudah dianggap melanggar hak anak lho. Apalagi tidak memenuhi hak-hak yang lainnya, kita bisa dicap sebagai orangtua yang menelantarkan anak. Tidak layak sebagai orangtua. Bersyukurlah hidup di Indonesia, hal-hal itu hanya jadi cibiran atau nyinyiran tetangga, kalau di luar negeri, orangtua bisa diambil alih tanggungjawabnya kepada anak-anak.
Berat juga ya tanggungjawab punya anak itu. Lha makanya, masih terpikir punya anak banyak di zaman canggih yang makin tinggi rasa kompetitifnya?
Nih aku mo cerita kisah nyata mbak dialami sama banyaak sepupu aku krn ortunya beranggapan perempuan makin banyak anak makin dicintai Allah dan pahalanya surga krn melahirkan kan sama spt jihad. Walhasil hampir tiap thn pada melahirkan dan hamil anak jaraknya cuma bulan aja. Kebayang kan mereka ga mendapatkan hak ASI selama 2 thn. Boro2 2 thn biaa 6bulan full aja udh bagus. Belum lagi ibunya bakalan sibuk ngurus anak yg lebih bayi dan entah gmn pola asuhnya. Banyak sepupuku yg umurnya masih di bawah 30 dan anaknya udh 5 ke atas. Semua orang punya keyakinan masing2 and thats fine with me tp kalo aku cukup 2 lah toh membesarkan anak dgn baik membwrikan pendidikan setinggi2nya dan menghasilkan anak yg shalih shalihah itu juga ga kalah berat. Insyaallah surga juga menanti
topik parenting seperti ini memang harus didiskusikan berdua, kadang ada salah satu pihak yang gak pengen. malahan ada yang sama sekali nggak pengen punya anak.
aku gak bisa banyak berkomentar soal parenting karena satu sisi juga belum berpengalaman hehe
Bikin berdua, urus berdua.
Aku masih menyaksikan beberapa kerabat yang berfikiran, “mendidik = tugas ibu.”
Alhasil kerap terjadi friksi. Nah, gak mau banget kalau nanti berkeluarga eh jadinya begitu. Aku meyakini setiap anak udah ada jalan rezekinya. Tapi, menyoal “fenomena” gerakan nikah muda yang heboh aku ngeri juga. Banyak yang sekadar nikah tapi gak ada persiapan yang mumpuni. 🙁
Setuju dengan bagian bikin anak berdua, urusnya juga berdua..kalau suami gak mau bantu ngurusin tapi mau bikin anak terus, istri harus pintar pakailah KB supaya gak dihamili terus wkwk. Tapi kalau suami istri sepakat punya anak banyak dan urus berdua, menurutku gak masalah punya anak banyak.
Semoga dapat adil ke anak-anak. Sekarang tiga dan jaraknya berdekatan… 🙂
Bersiap masuk pendidikan formal tahun ini… semoga tetap dapat berikan yang terbaik…
Aku aja dah ngos2an mak puh. Tapi rejeki itu kita ga bisa tolak. Sisanya bismillah dan cukup gedein anak-anak yang ada kalau sekarang
Betul banget mbak tiap anak punya haknya ya, kalau gak orang tua bisa dianggap dzolim, jangan sampai deh ya. Anakku dua cowo semua ealaupun ada yg nyinyir harus nambah anak cewe aku tutup telinga aja deh, yang menghidupi kan kami walaupaun masing2 anak punya rezekinya sendiri
Betul banget mbak tiap anak punya haknya ya, kalau gak orang tua bisa dianggap dzolim, jangan sampai deh ya. Anakku dua cowo semua ealaupun ada yg nyinyir harus nambah anak cewe aku tutup telinga aja deh, yang menghidupi kan kami walaupaun masing2 anak punay rezekinya sendiri
Punya anak itu pilihan, bukan kewajiban. Jadi berapapun jumlah anak, itu pilihan masing- masing.
Saya pernah membaca sebuah tulisan, anak itu rezeki anak itu ujian. Jadi, kalau saya pribadi, akan memilih yang seminimalkan mungkin risiko dan tantangan sesuai kemampuan.
Sampai sekarang berarti sejalan yaa, kak Injul…
Punya banyak anak, punya asisten juga dan ini berarti masalah rejeki, oke…gak jadi masalah.
Kami juga selalu membayangkan masa tua jadi teringat, “Apakah punya anak banyak akan menjamin masa tua kami lebih berbarokah?”
Karena anak bagi kami adalah investasi akhirat.
Kalau anak banyak, pendidikan akhlak dan penanaman iman juga harus bagus.
Semoga Allah tidak salah menitipkan amanahNya kepada hamba-hambaNya.
Aamiin~
Ya aku dan suami juga begitu, Lendy. Anak itu adalah rezeki kita terutama di akhir masa nanti. Karenanya kami berusaha menyeimbangkan kasih sayang buat semuanya.
Kalau anak lagi berulah, sering muncul kalimat gini, “Anakmu tuh, itu lagi yang dilakukan, Bikin masalah ajah.”
Kalau anak lagi hebat-hebatnya, yang muncul kalimat, “Anak pinter. Kaya Mama nih!” atau begini, “Anak ganteng, gantengnya kaya Papa.”
Aku dan suamiku sangat menghindari kalimat begini, Mak.
Mungkin biasa ajah ya buat kebanyakan orang tua, tapi buat kami, itu seperti mengunggulkan salah satu orang tua. padahal, anak harus melihat ortunya kerja sama, dan dapatkan keuntungan dari kedua orangtuanya.
Sepakat Ria, ku suka nih pendapatmu. Bener ya, sebaiknya orangtua menghindari kalimat saling merasa unggul.
Saya juga anak pertama dari 5 bersaudara. Memang kerasa banget rempongnya orangtua saya. Dan saya juga dulu ikut mengasuh adik-adik saya yg kecil dari yg no 3 sampai no 5.
Banyak anak banyak rezeki? Entahlah. Yang saya yakini Allah akan memberikan apapun dg adil kepada seluruh umat.
Yang pasti tanggungjawab memiliki anak itu besar banget. Dan semakin banyak anak semakin besar pula tanggungjawab serta kebutuhan hidup kita.
Walah, adiknya Mak Indah ada yg kuliah di Purwokerto, toh? Main ke sini, Mak… hehehe..
Sudah selesai kuliahnya, Ery. Tapi mereka rajin ke Purwokerto karena ada saudara di sana, dan adikku dapat istri lulusan Unsoed juga. Insya Allah kalau main ke Purwokerto, ku kabari ya.
Suami 5 bersaudara Mak, dan aku 2 bersaudara. menurutku kalau udah gede memang enak yang sodaranya banyak sih. jadi rame dan kalau kita ada susah suah, banyak yang bisa bantu juga. Tapi kalau masih kecil, huh jangan ditanya. Aku anak tiga jaraknya deket deket suka pening kalau denger kakak kakak ribut yang mana bikin bangun adeknya yang liyer liyer mau tidur. huh, seandainya mereka tau kalau nidurin bayik itu kaya ngambil granat.
Aku belum tahu mau punya anak berapa, mak buahahahahah.
Mungkin 2 atau 3 lah. Sebelum mikir anaknya, kumau semedi dulu mencari ibuknya anak.
Aku 2 anak saja cukup mak.. (haha yaeyalah.. ibu tunggal mau nambah anak pegimane..). Biar lebih fokus aja sih ke ngurus anak.. Padahal ortu ku keluarga besar..sesodaraan ada yg 11 ada juga yang 9. Rame sih.. tapi gak pengen ahhh apalagi jaman sekarang.. hehe
Saya masih percaya bahwa banyak anak banyak rejeki, Mba. Ya rejekinya anak itu. Rejeki kan ga melulu soal materi, tapi memiliki mereka juga rejeki. ^_^
Aku punya dua anak dan rasanya nggak pengen nambah lagi. Iyalah, wong single mom gimana mau nambahnya? Hahaha …
Aku setuju banget loh Mbak, bahwa bikin berdua ya urus berdua juga. Aku tuh belajar banget dari kedua orangtuaku. Bapakku yang berperan hanya sebagai pencari nafkah saja, sama sekali nggak mau pegang urusan anak dan pekerjaan domestik. Kelihatan banget gimana capeknya ibuku mengurus empat anak begitu. Jadi senang deh, kalau banyak teman laki-laki yang di rumahnya mereka beneran ikutan mengasuh anak-anak dan mau membantu pekerjaan istrinya.
Harus dibiasakan sejak kecil ya, anak laki-laki pun bisa mengerjakan pekerjaan domestik, biar saat besar nggak bingung lagi bantuin istrinya 🙂
Saya juga lima bersaudara, saya anak ke empat jadi saya bagian di asuh sama kakak-kakak hehehehe….
Sekarang punya anak tiga, dan sudah sepakat sama suami mau stop aja punya anak. Anak pertama kedua jarak 1 tahun, anak kedua ketiga jarak 6 tahun. Anak perempuan udah pinter kalau dikasih tugas ngasuh adiknya, yang anak laki kalau dikasih tugas jagain adiknya, malah ujungnya berantem.
Sepakat dengan judul tulisan ini, punya banyak anak, selain banyak rejeki, juga makin banyak masalahnya
Tiga anak saja cukup ya, mbak Nanik. Biar nggak makin pusing 🙂
Saya kurang setuju kalau orang beranak banyak itu akan diikuti dengan banyaknya asisten yang mengurusi rumahnya. Saya rasa, berani memiliki banyak anak harus diikuti dengan kemauan untuk mendidik semua anaknya itu untuk mengurus rumah. Memiliki anak itu berbanding lurus dengan mengajarkan tanggung jawab. Kalau tidak berani mengajarkan tanggung jawab kepada semua anak itu, jangan sampai punya anak banyak-banyak.
Nah! Setuju sama Vicky, harus diajarkan tanggungjawab ke anak ya.
Ini setuju banget, Bu Dokter dan Mba Indah. Tapi mempunyai anak bukan pilihan untuk kita. Kadang kita maunya 2 aja, tapi kalau Allah/Tuhan bilang 5 apa kita tolak? perencanaan dengan KB tidak menjamin punya anak dikit kan? Semua tergantung kuasa Allah juga kan. Memang banyak anak efeknya kita jadi punya banyak tanggung jawab. Punya banyak masalah pastinya. Mau anak 1 atau 2 juga masalah akan tetap sama dengan anak diatas 5. Jadi ga bisa bilang juga kalau anaknya sedikit masalahnya sedikit atau anak banyak masalahnya banyak koreksi kalau salah ya. ^_^
Hehehe, santai Ade, nggak ada yang perlu dikoreksi, setiap orang kan punya pendapat dan jadi menambah wawasanku juga. Terima kasih ya
Orang jaman dulu bisa ya punya anak sampai 7 lebih gitu, pusingnya kali 7 dong ya.
Aku teringat ibuku dulu, bantuin bapakku yang mendadak sakit dengan terima jahitan. Perjuangan ibu ini yang bikin kami jadi dekat karena semula aku dekat dengan bapak. Dan jadi ingin bekerja begitu lulus kuliah sampai menikah juga, agar tidak bergantung pada suami
Iya ya mbak aku juga ngerasain 2 anak laki2 yang sedang bertumbuh aja banyak yang mesti di buat planing apalagi lebih ohhh semoga aku dan suamiku juga para orang tua dimanapun bisa mendampingi anak2 sampai pada yang di harapkan dan di cita2kan aammiinn