Tahun ajaran baru tahun ini, giliran anak-anak beli sepatu sekolah baru, setelah selama dua tahun tidak membeli sepatu baru. Yap, di keluarga kami, tidak setiap tahun ajaran baru membeli perlengkapan sekolah baru, kecuali perlengkapan sekolah seperti buku tulis, pulpen/pensil dan printilan lainnya. Daku dan mas Iwan menganut pola nggak masalah membeli sedikit mahal yang penting bagus dan tahan lama. Walau dalam hatinya mungkin merengut, tapi dua anak remaja dan satu anak kicik, tetap manut dengan aturan tersebut.
Bagaimana kalau ingin sepatu yang lain? Ya kalau kepengen banget, beli sendirilah dengan cara nabung dari uang saku yang mereka terima. Berhasil nabung? Nggak selalu, karena ada keinginan-keinginan lain, yang menurut mereka lebih menarik dan uang sakunya terpakai untuk keinginan itu.
Ya gitu deh Sahabat Blogger dan pembaca setia blog Cerita Cita Cinta. Punya anak remaja itu memang punya seni tersendiri. Apalagi anak remaja zaman sekarang, yang keinginannya bermacam-macam, yang sebenarnya nggak dibutuhkan, atau dibutuhkan tapi nggak harus saat itu juga dipenuhi. Jangan sampai deh, anak kita berfoya-foya nggak juntrungan atau konsumtif, istilahnya.
Anak Remaja Konsumtif, Trend Zaman Now?
Hiya, masa remaja memang merupakan masa ‘pergolakan’. Merujuk pada Steinberg, 1996, seiring perkembangan biologis, psikologis serta sosial ekonomi, remaja memasuki tahap di mana sudah jadi lebih bijaksana dan sudah lebih mampu membuat keputusan sendiri. Yah, “bijaksana”. Tahu kan maksudnya?
Nah, sebagai seorang konsumen, si anak remaja ini biasanya kan sudah mulai pada punya uang saku kan? Sehingga mereka tuh pada punya pilihan mandiri untuk gunakan uangnya, mau beli apa yang diinginkannya. Di sisi lain, karena masih dalam masa pencarian identitas diri dan sering kali labil, anak remaja sebagai konsumen juga memiliki karakteristik mudah terpengaruh, gampang terbujuk iklan, boros dan kurang realistis.
Konsumtif di sini berarti adalah ketika orang tersebut membeli barang/jasa yang sebenarnya nggak diperlukan—bukan merupakan kebutuhan pokok—secara berlebihan, hanya untuk memenuhi kepuasannya.
Misalnya, si anak remaja ini punya uang Rp100.000. Kemudian yang Rp50.000 ia habiskan untuk nonton dan makan bersama teman-temannya, sementara sisanya dihabiskan untuk membeli beberapa CD grup band Korea idolanya.
Habis dong. Iya, habis. Terus kalau butuh alat tulis atau buku untuk penunjang pelajarannya di sekolah gimana? Ya, minta lagilah ke orang tua. Mamaknya yang tinggal gigit-gigit dompet.
Tahu nggak apa penyebab anak remaja berperilaku konsumtif?
1. Iklan yang terlalu banyak
Barangkali kita dulu juga melakukannya sih ya. Hayo, ngaku. Siapa yang suka jadi korban iklan? Kayaknya sampai sekarang juga masih kan?
Yep, media seperti televisi, radio (masih ada yang dengerin radio gak sih?), dan majalah, bahkan yang online lebih masif lagi, mulai dari Youtube sampai portal-portal, memang membawa pengaruh besar bagi anak-anak dan anak remaja yang sering kali dijadikan target potensial iklan. Sebegitu menariknya sebuah iklan sehingga bisa memikat, mereka pun menggunakan bintang iklan dari usia seumuran segmen pasarnya. Yang diidolain pastinya.
2. Takut ketinggalan zaman
Anak remaja memang begitu akrab dengan perilaku konsumtif. Selain karena imbas media dan iklan, lingkungan juga punya andil besar. Pada remaja, pengaruh peer group sangat dominan, sehingga si remaja akan berusaha untuk tampil ‘seragam’ dengan teman-teman se-genk-nya. Jadi, kalau ia jadi konsumtif, bisa jadi karena ia sedang berusaha sama dan menyelaraskan diri dengan teman-temannya.
Remaja ingin mengaktualisasikan dirinya, dianggap up to date, kekinian, kids zaman now, dan nggak mau dibilang kuper, kudet, ketinggalan zaman dan seterusnya, karena nggak memakai barang yang sedang tren.
Ya kenyataannya memang gitu sih. Dikucilkan, risikonya. Kasihan juga kan? Bisa dibilang dilema sih. Seperti yang pernah terjadi pada Taruli kala SMP yang minta uang saku bulanannya dinaikkan menjadi satu juta (kala itu ia tinggal di asrama pesantren, mondok), karena teman-teman seasramanya uang sakunya berlimpah (beberapa teman Taruli saat mondok, berasal dari luar Pulau Jawa, dan orangtuanya dari golongan atas/high society). Tentu saja, daku dan Mas Iwan menolak mentah-mentah keinginan itu.
3. Gaya hidup orang tua
Kathleen Hart, seorang profesor sekaligus juga psikolog klinis dari Xavier University, melihat fenomena ini juga terbentuk dari gaya hidup keluarga si remaja itu sendiri. Masih menurut Hart, orang tua yang sibuk dan nggak punya waktu banyak untuk anaknya, kadang melimpahi anak dengan materi sebagai ‘tebusan’ rasa bersalahnya.
Hal ini akan membuat si anak tumbuh menjadi remaja yang terbiasa dengan kemudahan materi. Tahu kan, kalau orang tua itu adalah model bagi anak. Jadi bila orang tuanya juga terbiasa dengan perilaku konsumtif, maka anak pun akan memandang hal itu sebagai sesuatu yang wajar.
Terus, gimana dong biar perilaku konsumtif si anak remaja ini nggak berlebihan?
Perilaku konsumtif pada remaja sebenarnya dapat ditolerir jika melihat pada kebutuhan anak remaja untuk eksis dan menjadi bagian dalam lingkungannya. Asalkan nggak berlebihan.
Lalu gimana caranya kita mendampingi si anak remaja ini?
1. Pendekatan ala teman
Remaja tidak ingin dianggap anak kecil lagi, apalagi digurui. Mereka akan lebih nyaman kalau kita melakukan pendekatan sebagai teman, bukan sebagai orang tua dalam batasan yang jelas.
Jadi kalau ingin mengajaknya bicara dari hati ke hati, lakukan dalam suasana santai sambil menonton televisi, misalnya. Buatlah seperti sesi curhat dengan teman, bukan sebagai sesi interogasi.
2. Berikan alternatif
Bukalah mata dan telinga lebar-lebar untuk tahu apa yang sedang tren di kalangan remaja agar bisa mencarikan alternatif barang yang diinginkannya.
Karena, seringkali barang yang diinginkannya tersebut juga nggak akan bertahan lama disukai oleh si remaja, karena kan dia hanya ikut tren doang. Coba carikan alternatif lain seperti yang diinginkannya, dengan harga yang lebih reasonable.
3. Inspiring things
Kalau si remaja habis-habisan meniru gaya idolanya, sebenarnya ini adalah hal yang wajar. Tapi yaaahhh, inget-inget deh, betapa kita dulu juga berperilaku begitu. Iya enggak? So, pasti tahu deh gimana rasanya, bisa tampil bak si bintang idola.
Dalam perkembangan kognitif dan emosi, si anak remaja masih memandang bahwa atribut itu lebih penting dari substansi. Bagi mereka, bagaimana gaya penyanyi idola dengan jam tangan, blazer serta syalnya seringkali menjadi lebih penting ketimbang kualitas suaranya.
Maka, berikan pengertian bahwa kesuksesan idolanya melalui usaha dan kerja keras. Biarkan idola memberinya inspirasi untuk berprestasi. Ini yang selalu daku tekankan kepada anak-anak, kesuksesan itu tidak datang dengan sendirinya. Ingin sukses? Ya kerja keras dan berusaha, yang dibarengi doa juga tentunya.
Seperti itu deh kira-kira, mengapa, bagaimana dan apa yang harus kita orang tua lakukan agar anak remaja tetap mengikuti zaman tanpa harus bergaya konsumtif.
Sahabat Blogger dan pembaca setia blog Cerita Cita Cinta yang punya anak remaja, eh punya anak jelang remaja juga sih, ada cerita tentang keinginana anak yang cenderung konsumtif? Berbagi dong tipsnya.
Memang zaman now sungguh wagelaseh ya mak, haha..
Anak saya yg masih 3 tahun aja terkadang memperlihatkan masa-masa itu, tapi alhamdulillah nya anak saya masih nurut dan cuma diem kalau saya nggak nuruti permintaannya, hihi..
Iklan dan pengaruh teman ini luar biasa. Sering kejadian nih ketika anak-anak minta sesuatu karena temannya sudah punya barang tersebut. Ini kan barang tidak perlu, tidak penting. Mengapa kudu beli. Jadi kayak takut ketinggalan zaman itu benar adanya. Tapi aku kasih pengertian pelan-pelan dan butuh waktu. Anak harus bisa bertahan dan kuat, ketika tidak sama dengan arus (teman-temannya).
Setuju banget dengan komen sharing Rochma. Aku juga pelan-pelan kasih pengertiannya.
duh remaja itu yaa.. kadang memang masih suka terbawa.. terbawa lingkungan, teman-teman, atau media yang dia lihat (sosmed, tv, bacaan, dll.)
memang harus pendekatan yang halus seperti menjadi teman bicaranya, untuk bisa memberi masukan2 positif padanya 😀
bener banget, jadi teman bicaranya biar paham 🙂
Kepikiran, Makpuh.
Aku kepikiran untuk merubah gaya hidupku dahulu. Semoga anak-anak mengikuti.
Tidak membiasakan mereka untuk “mudah” dalam mengeluarkan uang.
Nah itu seperti, daku juga berusaha terus agar anak nggak boros.
Penting sekali mengajarkan anak-anak untuk tidak konsumtif ya, apalagi sekarang zamannya semua sudah berubah bisa jajan langsung dari hp ya
Takut ketinggalan zaman, iya sekarang anak remaja tuh konsumtif karena itu, dan pengaruh iklan juga sih. Jadi saya dari sekarang udah terapin ke Marwah kalau membeli itu kebutuhan dulu jangan ikutin keinginan.
Nah bener, beli sesuai kebutuhan bukan keinginan.
Ya mbak, kebiasaan di lingkungan terdekat terutam aortu g membawa pengaruh ya. Kalau ortunya membiasakan sejak kecil beli ini itu ya yang mungkin gak diperlukan, anak biasanya meniru. Tapi kalau sejak kecil ortu dah kasi contoh dan pembiasaan yang ketat soal beli2 barang biasanya anak2 juga akan meniru perilaku yang sama. Kalau soal pengaruh luar kyk iklan dan gaya hidup teman2nya itu kyknya emang bisa tu dicegah dengan pendekatan ortu.
Pas anakku yang perempuan SMP di Surabaya, ikut asrama olahraga dan memang jadi konsuntif Mak. Lokasi asrama dekat dengan mall dan terletak di wilayah perumahan mewah. Mau tak mau lingkungan sekitar pun mendukung. Ke mall naik taksi terus. Hahhaa. Akhirnya, saya dan bapaknya memutuskan membawa dia balik ke Jakarta sambil menunggu masa kenaikan SMP menuju SMA. Alhamdulillah lulus SMA dan sekolaah kuliah semester 4 di Purwokerto. Pas masa kuliah ini, jauh dari kami semakin belajar untuk mengatur uang. Saya percaya ini proses walaupun memang gejolak banget hadapi anak perempuan masa puber. Kalo laki cenderung lebih nggak konsumtif ketika menjalani masa remaja. Maap maak jadi curhaaaat. Hahhaa
Sulungku nih mba borosnyaaaa… Heran banget, dikirimi uang tuh cepet banget habisnya.
Eh ternyata dia hobi banget jajan kalau di pondoh laaaahh… pengaruh teman-temannya yang hobi jajan juga ternyata. Plus beli2 baju kurung dan sarung melulu. Jadi mau ngomel kan ga tega ya hihiiii…
Ini balik lagi ke kita orang tua ya kak, bagaimanapun waktu anak berkegiatan pasti lebi banyak di dalam lingkungan keluarga…Ah makasih mba, ini reminder banget buat aku, semangattt jadi ibu yang lebih baik lagi 🙂
Aku mengamati juga makin ke sini remaja makin gaya hidupnya keren daripada aku gulu wakakak
tapi tetep semua kembali ke didikan orangtua ya Mba Indah.
Alhamdulillah mba Indah jadi bunda idola ini, banyak tips yang diterapkan.
Terima kasih telah berbagi mba, aku nyerap ilmunya heheheheh
Kalau ngobrolin konsumtif kayaknya gak anak ABG doang, karena yang emak-emak juga konsumtif. Terbukti soalnya sama aku nih, gak bisa lihat diskonan terus belum lagi banyak promo menggiurkan, racun-racun yang ditebar sama teman-teman. Hahahahaa…
Tapi kalau ini sudah ada dari jaman anak-anak kudu dikasih rem sih, karena ngeri kebablasan kalau konsumtif.
setuju mbak untuk point remaja konsumtif krn pengaruh orang tua,krn mereka melihat dan mengadopsi yang orang tuanya lakukan, jd yah cara termudahnya orang tua pun harus belaja tdk konsumtif
Mantap
Bener bgt nih. Emang remaja jaman skrg tuh bnyak bgt yg konsumtif. Sebagai org tua hrs lebih strick lgi ya untuk urusab anak yg konsumtif berlebihan.
Idem Makpuuuh, Aku dan Suami biasanya gak akan beli barang baru selama yang lama belum benar-benar rusak, kecuali kalau ada alasan lain yang mengharuskan dan itu pun demi kepentingan pekerjaan biasanya. Anakku Alfath entah ngikutin atau emang gak tertarik beli sepatu, gak pernah minta, malah harus dipaksa ke Toko Sepatu karena sepatu lamanya udah kekecilan (siap diturunkan ke Adiknya karena kondisi masih baik, haha irit banget yaa Emaknyaa). Begitupun dengan Tas dan lainnya, Alfath kurang tertarik.
Yang masih PR kalau Alfath tuh lebih ke beli mainan, harus dilakukan pendekatan khusus dulu supaya dia mau berubah pikiran, ketimbang pakai uangnya buat beli mainan lagi mending ditabung untuk hal-hal yang pasti nyenengin buat dia kedepannya. Walau mood-nya Alfath masih naik turun, haha
iya mbak kalau sekarang jaman udah berubah karena banyak promo, iklan, diskon jadinya lebih konsumtif padahal kalo jaman dulu baru beli sepatu kalau udah robek haha
Aku mah cenderung pelit. Jadi kebawa, kl sama anak pertimbangan beli ini itu biasanya panjang. Tapi belakangan sadar, terlalu pelit itu gak bagus
saya termasuk yang komsumtif mbak, tapi saya selalu menekankan ke anak, boleh konsumtif asal punya uang sendiri aka menabung, dan saya ga akan bantu kalau mendadak butuh biaya sedangkan tabungannya sudah di pakai untuk berbelanja hahahaa
Anak saya belum remaja, tapi saya pernah jadi remaja, dan saya ingat saya pernah konsumtif :))
Dulu tuh konsumtivitasi saya paling banyak pada urusan skin care dan hiburan musik. Skin care karena saya ingin seperti bintang iklan tv, sedangkan hiburan itu karena ingin trendy. Setelah saya pikir-pikir, dulu memang value yang diajarkan adalah “kulit saya harus putih” dan “saya harus menonjol daripada teman”, maka manifestasinya pun saya jadi konsumtif terhadap hal-hal yang mendukung value tersebut.
Mungkin, kalau saya diprioritaskan untuk diajarin value bahwa ada hal-hal yang lebih penting daripada sekedar kulit putih dan menjadi trendsetter, misalnya value menerima diri sendiri apa adanya, saya nggak akan buang-buang duit terhadap skin care pemutih. Tapi mungkin saya akan lebih banyak bergerilya cari kaset bajakan supaya tidak perlu beli kaset original. :))
Dipikir2 kok sama sih mba, urusan beli baju and sepatu bukan sesuatu yg dilakukan sering 🙂 aku termasuk jarang yg beliin sepatu anak. Bukannya pelit, tapi yg lama maaih bagus, buat apa beli lagi 🙂
Iya aku setuju, pengen beli yg lain? Yaudah pakai duit sendiri aja, nabung. Mengajarkan anak utk tidak konsumtif 🙂
Toss dululah. Penting memang ngajarin anak nggak konsumtif, biar bisa menghargai apa yang dimiliki.