Pendidikan Seks yang Tabu!

Suatu hari, menjelang Valentine, Tiominar, si bungsu yang berusia 7 tahun lebih 8 bulan, dalam perbincangan kami di perjalanan pulang dari sekolahnya, berucap,“Kalau ada yang bilang aku suka kamu, Inna jawab apa?”

“Eh, maksudnya apa?” Saya balik bertanya.

“Aku tanya, kalau ada cowok yang bilang ke aku, aku suka kamu, Inna jawabnya apa.” Tiominar memperjelas pertanyaannya.

Wuih, jujur saya kaget dengan pertanyaan tersebut. Sempat terdiam sejenak, berpikir keras karena tidak siap dengan jawabannya.

“Maksud Adik, ada teman cowok Adik yang bilang suka gitu?”

“Nggak. Kalau nanti aku besar, kan ada cowok yang bilang suka sama aku, Inna jawabnya apa.”

Ya Allah, saya mengucap dalam hati. Antara kepengen ketawa karena merasa pertanyaannya lucu, tapi mikir juga, kok bisa-bisaan ya anak umur 7 tahun bertanya seperti itu.

“Ya itu sih nanti sajalah, kan Adik masih kecil belum besar.”

“Tapi kan aku pengen tahu sekarang,” tegas Tio.

“Kan Adik yang ditanya, kok inna yang harus jawab.” Saya malah membalikkan pertanyaan itu ke Tio.

“Ya kan, kata Inna, pacaran itu hanya untuk orang-orang dewasa, orang yang mau menikah. Aku nanti kalau udah SMA, ada cowok yang bilang suka, harus izin Inna dulu kan. Seperti Mbak Lily.”

Duh, anak gue, ucap saya dalam hati. Rasanya saat itu pengen jedotin kepala.

 

Hm, begini nih anak sekarang. Anak era millenial. Mau dijawab, harus dengan penjelasan panjang lebar. Nggak dijawab, bakal dicecar terus menerus. 

“Jadi harus inna jawab sekarang nih?”

Tio mengangguk dengan cepat. Sementara saya mikir mengolah kata yang pas, yang sesuai dengan pemikiran anak umur 7 tahun lebih, dengan harapan saya, anak kecil itu tidak akan bertanya-tanya lagi.

Dan sepanjang perjalanan pulang itu pun diisi dengan pembicaraan serius kalau Adik nanti remaja, ada cowok yang bilang suka, menurut Inna ya Adik lebih baik berteman saja. Karena seperti kata Inna ke Mbak Lily, pacaran hanya untuk orang yang mau menikah. Orang dewasa. Kalau masih anak-anak atau remaja, harus sekolah dulu. Berteman dengan cowok tidak masalah. Tapi bukan buat sayang-sayangan 🙂

Hahaha, mbuhlah itu jawabannya mengena atau tidak. Yang jelas Tio mengambil kesimpulan, “Berarti nggak boleh ada cowok yang suka sama aku ya?”

Yaelah, panjang kan? Ada pertanyaan lagi kan? Yang ujung-ujungnya berakhir dengan pertanyaan, kenapa cowok dan cewek berpasang-pasangan?

 

Tentang Pendidikan Seks

Pendidikan Seks yang Tabu!

 

Pertanyaan tentang laki-laki – perempuan, seperti jenis kelamin serta perbedaan-perbedaannya. Hubungan perempuan laki-laki, kenapa berpacaran lalu menikah, melahirkan, kenapa Inna nggak sholat, juga pertanyaan yang kadang bikin saya shock, kenapa orang menjadi tua, sering ditanyakan Tiominar.

Hal yang wajar sih dan pastinya juga dialami seluruh orangtua di jagat raya ini.  Yang paling seru adalah pertanyaan yang berhubungan dengan Pendidikan Seks.

Saya punya tiga anak perempuan dengan rentang usia tiap anak berjarak 5 tahun. Mungkin, karena Tio lahir di tahun 2009, di saat teknologi sudah lebih canggih dibandingkan 10 tahun yang lalu saat kakak sulungnya, Taruli lahir, dia lebih canggih dalam bertanya hal-hal yang sangat ingin diketahuinya.

 

Anak Digital Native

Tio lahir sebagai anak generasi Digital Native.

Seperti yang pernah saya tulis untuk website Kumpulan Emak Blogger (KEB) tentang Internet, Anak dan Orangtua, dituliskan Digital Native adalah kelompok yang saat mulai belajar menulis sudah mengenal internet atau yang saat ini berada di bawah 24 tahun.

 

Ciri-ciri Digital Native adalah:

  • Melek teknologi (paham tentang gadget/smartphone/handphone)
  • Tidak kikuk dalam mengoperasikan berbagai gadget yang dimiliki orangtua/orang dewasa lainnya.
  • Senang berkumpul di sosial media
  • Belajar dan bersosialisasi di komunitas online.

Meski saya sangat tahu, di Indonesia ini, pembicaraan tentang seks (apalagi kalau sudah mencakup hubungan laki-laki dan perempuan), tabu dibicarakan secara terang-terangan terutama kepada anak-anak (baik itu anak kecil yang berusia 5 tahun ke atas atau anak remaja yang berusia 11 tahun hingga 18 tahun).

Ibaratnya nih, “Jangan sampai deh ngomongin alat kelamin laki-laki, perempuan, hubungan suami istri di hadapan anak-anak, itu pantang. Berdosa!”

Mungkin di era saya tahun 80 sampai 90-an iya sih nggak apa-apa, karena orangtua saya pola pemikirannya hasil dari orang tua zaman dahulu kala, sebelum kemerdekaan Indonesia dan teknologi belum canggih.

Yang berpikiran kalau seks itu hanya seputaran aktivitas hubungan intim laki-laki dan perempuan atau aktivitas mesum.

 

Bagaimana Pendidikan Seks Masa Kini?

Yang suka bikin geregetan itu adalah orang tua masa kini, yang mayoritas berpendidikan tinggi, mempunyai memiliki kehidupan sosial masa kini, plus paham dengan teknologi canggih, masih ada yang berpikiran sempit kalau pendidikan seks itu tabu!

Kalau ada yang ngomongin masalah pendidikan seks masih banyak yang malu-malu. Cenderung menghindari pembicaraan itu!

Di era sosial media yang sangat terbuka ini, orang dengan seenaknya menuduh tanpa melihat secara keseluruhan masalah, komentar yang diutarakan bahkan cenderung menghakimi “pemikiran” anak-anak. Bahwa anak ketika membaca tulisan itu akan terangsang, akan melakukan hal-hal menyimpang tersebut.

Pemikiran yang picik dari orang-orang dewasa yang mengaku hidup di zaman millenial.

Sebegitu rendahnya pemikiran anak-anak sampai orang dewasa mengatakan hal tersebut?!

Tidak bisakah orang dewasa menghargai pemikiran dan perasaan anak-anak?!

Kalau pun anak-anak mempunyai pemikiran “menyimpang”, itu bukan salah mereka. Tapi orang dewasa, orangtuanya, yang membiarkan anak-anak tersebut berkembang sendiri tanpa bimbingan, tanpa memberikan info yang benar, mencari sendiri hal-hal yang ingin diketahuinya di luar rumah, dari teman-temannya, dari pergaulannya.

 

Kapan Pendidikan Seks Diberikan dan Kepada Siapa?

Pendidikan Seks yang Tabu!

 

Saya sudah mengajarkan Tiominar tentang pendidikan seks sejak dia paham dengan apa yang saya utarakan. Kala itu Tio berumur 5 tahun.

Kecepatan? Tidak. Karena Tio memiliki dua kakak perempuan yang sering saya berikan pencerahan tentang seks dan kehidupan sosial. Bahkan Tio sudah saya ajarkan tentang haid ketika kakaknya yang nomor dua, Kayla, mengalami haid pertama.

Tio generasi yang berbeda dengan Taruli dan Kayla. Kedua kakaknya lebih “adem” dalam bertanya.

Saat Taruli bersekolah di SD, kira-kira di kelas empat SD, saya baru mengajarkannya tentang pendidikan seks. Itu juga karena dia melihat temannya yang bertubuh lebih besar dan sudah menggunakan bra (BH).

Saya masih ingat Taruli bertanya, “Kok masih anak kecil sudah pakai BH?”

Setiap anak mengalami perkembangan masing-masing. Beda anak, beda pula sikap dan pemahamannya. Kayla, anak saya yang nomor dua, sudah belajar tentang pendidikan seks sejak masuk usia SD. Mungkin karena ada kakaknya, Taruli, yang menjadi tempat bertanya dan bercerita, dia lebih nggak banyak pertanyaan tentang apa dan bagaimana perempuan dan laki-laki itu.  Kalaupun bertanya ke saya, yang tidak bisa dijawab sama Taruli.

Saya pikir, Tiominar akan seperti Kayla, tidak banyak bertanya. Ada dua kakaknya yang bisa ditanya-tanya dan bisa kasih info.

Ternyata tidak seperti perkiraan. Tiominar lebih cadas dalam bertanya dan lebih banyak ingin tahunya. Dan, nggak mau bertanya ke kakak-kakaknya.

Di usia 5 tahun, Tio sudah bertanya kenapa saya dan Mbak Lily-nya tidak sholat. Kenapa saat mandi bersama, badan mbak Lily nggak sama dengannya, padahal sama-sama perempuan. Ada juga pertanyaan, kenapa dia lahirnya dioperasi sesar sementara kakaknya lahirnya normal.

Jujur saya shock dengan pertanyaan-pertanyaan seperti itu. Walau saya menganggap bukan hal yang tabu untuk memberikan pelajaran seksual kepada anak sejak dini, tapi ya nggak berharap juga anak umur lima tahunan bertanya hal-hal tersebut. Kecepatanlah istilahnya 🙂

Tapi kalau nggak dijawab atau diberikan jawaban yang mengawang-awang, hal itu bisa membuka celah anak untuk mencari info di luar keluarga intinya. Karena walau pun satu keluarga atau hubungannya dekat, belum tentu pola asuh atau pemikirannya sepaham dengan orangtuanya.

Bahkan saya dan Mas Iwan saja sempat berbeda pendapat tentang pendidikan seks ini. Saat itu Mas Iwan berpikir bahwa dengan pendidikan agama yang baik, anak akan terhindar dari hal-hal menyimpang.

 

Orangtua, Tokoh Sentral dalam Pendidikan Seks

Pendidikan Seks yang Tabu!

 

Jangan pernah membiarkan anak sendirian mencari atau mengetahui informasi terutama yang berkaitan dengan masalah seksual. 

Pernah kejadian, Bude yang menjaga dan mengasuh anak-anak, bilang ke saya, “Itu Tio gesek-gesek m***knya ke bantal.” Saat itu, rasanya mau marah ke Tio. Tapi saat melihat anaknya, nggak ada ekspresi apa-apa, saya cuma bisa ngedumel sama si Bude karena punya pikiran yang tidak-tidak.

Saya lalu bertanya ke Tio kenapa melakukan itu?

“Gatel, Inna. Aku mau garuk tapi tanganku kotor.”

Saya minta Tio kalau gatal sebaiknya dibersihkan dengan air (cebok), karena digaruk pun bisa sakit apalagi kalau tangannya kotor. Apalagi kalau digesek-gesek, bisa lecet dan sakit saat buang air kecil.

Nah, mudah kan? Nggak perlu berfantasi ke mana-mana.

 

Pikiran orang dewasa yang membentuk imajinasi anak-anak

Orangtua memang menjadi tokoh sentral dalam pendidikan seks untuk anak-anaknya.

Kalau kita nggak meluangkan waktu untuk berbincang-bincang atau memberikan info tentang masalah-masalah seksual, anak-anak menjadi tidak terarah.

Berdasarkan pengalaman saya dengan tiga anak perempuan, kita sebagai orangtua harus banyak membaca literatur tentang pendidikan seks yang sesuai dengan umur anak-anak. Pemahaman anak kecil berbeda dengan anak remaja.

Apalagi yang punya anak laki-laki ya. Yang katanya lebih banyak perniknya terutama yang berkaitan dengan pengetahuan seksualnya. Anak laki-laki yang katanya lebih rentan terpengaruh berkaitan dengan masa akil baliqnya.

Orangtua juga perlu tahu perkembangan anak remaja sekarang. Jangan menyamakan saat remaja kita dengan remaja sekarang ini. 100 persen berbeda!

Anak masa kini, generasi millenial, lebih luas jangkauannya pemikirannya. Terutama perkembangan teknologi. Sebegitu mudahnya anak-anak masa kini menerima informasi tentang seks, bisa dari peralatan gadget yang orang dewasa berikan, permainan teknologi bahkan dari buku-buku bacaan dewasa.

Kalau bukan orangtua yang mendampingi anak-anak dalam setiap tumbuh kembangnya, sama saja dengan menjerumuskan anak-anak ke kumparan lubang bernama social dan sexual abuse.

Seperti itu sih pemikiran saya tentang Sex Education untuk Anak. Hal-hal yang mungkin dianggap tabu, tapi bisa memicu eksploitasi seks. Sahabat Blogger punya cerita tentang hal ini? Sharing ya.

16 Comments

  1. Rach Alida Bahaweres March 1, 2017
  2. Frida Herlina March 1, 2017
  3. Dedek sebelah February 24, 2017
  4. Inayah February 23, 2017
  5. Junita Siregar February 22, 2017
    • Ristin February 22, 2017
  6. Sandra Nova February 22, 2017
  7. damarojat February 22, 2017
  8. Naufal February 22, 2017
  9. Ima satrianto February 22, 2017
  10. Irly February 22, 2017
    • indahjuli February 22, 2017
  11. Mirna Kei Rahardjo February 21, 2017
    • indahjuli February 22, 2017
  12. momtraveler February 21, 2017
    • indahjuli February 22, 2017

Leave a Reply